Selasa, 19 Februari 2013

Rindu Liga Indonesia

Entah sudah berapa lama liga Indonesia telah usai. Yang jelas hal itu telah membuat rindu para pecinta sepakbola Indonesia, supporter tim , maupun para pemain yang terbiasa menikmati persaingan ketat di lapangan. Kerinduan yang “menggebu” ini ternyata telah dilirik oleh stasiun televise swasta untuk menyiarkan ulang pertandingan-pertandingan seru ISL. Ya sejenak hal itu bisa mengobati sebuah rasa rindu. Ibarat pacaran para pecinta sepakbola Indonesia sedang bernostaliga menikmati pertandingan demi pertandingan yang tersaji di musim kemarin. Tapi, bukankah hal itu miris sekali?
Sistem kompetisi di Indonesia yang “acakdul” dan kadang sering gegabah dalam menentukan periode sebuah liga bergulir mengakibatkan sepakbola Indonesia terasa belum professional. Jadwal kapan saja bisa berubah sesuai kondisi yang sedang hangat disekitar lingkungan sepakbola. Salah satu contoh adalah ketika sebuah kota atau daerah sedang memiliki hajat Pemilukada. Seperti yang dirasakan Persija ISL musim kemarin. Mereka harus berpindah-pindah dari satu stadion ke stadion lainnya karena untuk sementara tidak boleh bermain di Jakarta.
Jika kita berkaca dari kompetisi elit di benua Eropa seprti liga Inggris, liga Italia, Spanyol dan lain-lain hal itu sungguh sangat kontradiktif. Liga – liga di Eropa memiliki jadwal kompetisi yang teratur dan professional. Bahkan jadwal musim berikutnya telah bisa diketahui saat satu musim sebelumnya . Hal itu berdampak positif dalam menejemen tim, khususnya dalam bidan pengurusan finansial tim. Mereka (liga-liga Eropa) mampu membuat tim peserta kompetisi merasa nyaman dalam hal menejemen pengelolaan finasial. Tim-tim tersebut paham kapan harus mengontrak pemain, dan kapan harus melepasnya.
Hal tersebut berbeda sekali dengan kondisi liga Indoensia. Jadwal yang tidak jelas dan cenderung terkesan simpang siur mengakibatkan tim-tim kebingungan dalam hal mengontark pemain. Dengan kondisi finasial yang angin-anginan karena kesulitan dalam mendatangkan sponsor, maka tim-tim di Indonesia hanya berani memberikan kontrak jangka pendek. Antara satu hingga dua tahun.
PSSI harusnya membuat sebuah jadwal kompetisi yang memiliki sinkronisasi yang baik dengan agenda dan kegiatan AFF maupun AFC. Sehingga tercipta sebuah kondisi yang harmonis. Bukan malah seperti sekarang. Agenda AFF Cup secara langsung maupun tidak langsung telah membuat kompetisi sepakbola di Indoensia mati suri. Hal itu dikarenakan jeda kompetisi yang begitu sangat lama. Hal ini juga berefek negatif terhadap pesepakbola kelas menengah yang menggantungkan hidupnya dari kompetisi liga Indonesia. Dengan kondisi tidak adanya tim yang mengontrak si pemain. Mau tak mau pemain harus mencari pekerjaan lain untuk mengidupi keluarganya.
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada salahnya kita berromantisme dengan masa lalu. Di saat era kepemimpinan Soekarno. Soekarno memiliki konsistensi dalam membangun iklim sepakbola yang kompetitif di Indonesia. Pada masa Orde Lama, Soekarno benar-benar menaruh perhatian yang besar kepada sepakbola Indonesia. Untuk sekarang, sosok pemimpin bangsa ini rasa-rasanya kurang menaruh perhatian terhadap sepakbola Indonesia. Padahal Sepakbola merupakan olahraga yang dimana harga diri sebuah negara dipertaruhkan.
Melihat kejadian ketika ketua PSSInya Senegal mengundurkan diri pasca kericuhan pertandinagan Senegal Vs Pantai gaduing diajang pra World Cup 2014. Pemimpin PSSI di Indonesia maupun presiden agaknya perlu belajar bagaimana penerapan sebuah tanggung jawab. Setidaknya untul saling legowo dan menyatukan pikiran dan tenaga untuk membangun sepakbola Indonesia.
Rakyat Indonesia telah rindu aktraksi para seniman sepakbola di stadion-tadion yang berada diseluruh kota di Indonesi. Rindu menghangatkan bangku tribun stadion. Rindu bernyanyi yel-yel yang unik. Rindu sepakbola Indonesia.

Galau Berujung Domino

Istilah kata galau begitu sangat populer dan sangat fenomenal pada saat ini. Entah darimana datangnya, tapi istilah kata galau begitu sangat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Istilah galau sendiri jika di cari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita tidak akan menemukan artinya, mungkin karena ini masih menjadi sebuah istilah baru. Galau kadang diartikan sebagai sebuah kondisi yang tidak menentu,bimbang ataupun gundah gulana.
Begitupun senada dengan PSSI selama beberapa tahun terakhir ini, sedang mengalami kegalauan yang begitu akut. Kegalauan sebuah organisasi yang bahkan secara usia lebih tua dari negara ini. Sebelum negara ini diproklamirkan oleh para founding father semacam Sukarno Hatta, PSSI sudah berdiri tegak menyongsong masa depan. Sebenarnya kegalauan PSSI itu sederhana. Ingin membentuk sebuah organisasi yang sehat yang nanti “goalnya” adalah sebuah prestasi yang mentereng dan bisa dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Ketika prestasi itu hadir maka rakyat Indonesia bakal bilang “ Ini lho Indonesia!”.
Awal kegalauan yang berhubung efek domino yang begitu panjang ini sebenarnya sangat sederhana. Munculnya letupan – letupan letupan ketidakpuasan terhadap kinerja dari lini per lini dinasti Nurdin Halid memaksa terjadinya sebuah kudeta revolusi kepengurusan PSSI. Dan akhirnya memunculkan rezim Djohar Arifin cs ke kasta tertinggi pemangku organisasi yang begitu populer di negeri ini. Ternyata dengan terpilihnya Djohar belum mampu mengakhiri kegalauan PSSI, malah timbul galau-galau baru yang akhirnya menimbulkan sebuah fase benang kusut dalam tubuh PSSI. Sangat sulit diurai dan begitu silang sengkarut. Lahirlah berbagai macam polemik yang melilit kaki kancah persepakbolaan Indonesia terpaksa membawa persepakbolaan Indonesia jalan di tempat bahkan beisa dikatakan mundur. Alhasil muncul suara sumbang dari para individu maupun kelompok yang menyatakan diri mereka dengan simbol yang peduli akan masa depan PSSI. Munculnya PSSI tandingan hasil musyawarah Ancol yang diprakarsai oleh KPSI yang katanya akan mneyelamatkan sepakbola Indonesia. Terpilihlah sosok yang begitu vokal mengkritisi kinerja dinasti Djohar Arifin, yaitu sosok La Nyalla Mattaliti.
Bayangkan dalam sebuah negara memiliki dua organisasi yang sama-sama merasa sah membawahi sepakbola di Indonesia, aneh bin ajaib bukan? . Timnaspun dipaksa menjadi dua kubu, timnas versi PSSI Solo yang mayoritas garnisunnya berasal dari kompetisi primer dan Timnas yang para punggawanya berasal dari kompetisi super. Alhasil yang terjadi adalah degradasi prestasi, kompetisi, maupun simpati supporter Indonesia. Berkaca dari event terakhir yaitu SCTV cup, Timnas kita galau total. Kita dipecundangi oleh Malaysia muda dan Korea Utara. Kinerja transisi antar lini dalam turnamen ini begitu buruk. Ini adalah sebuah hasil dari kompleksitas kompetisi yang secara kualitas mengalami degradasi. Efek domino ini menghasilkan implikasi yang sangat luas. Bagi sebuah Timnas yang sebelum mengalami masa galau selalu didukung ratusan ribu suporternya kini seperti bermain dalam sebuah partai usiran, minim supporter !. Para petinggi sepakbola Indonesia sendiri yang mengusir suporternya dari stadion, ya cara mengusirnya sederhana. Hanya dengan membuat iklim persepakbolaan di Indonesia menjadi sengkarut maka stadion seperti rumah kosong . Gampang bukan?
Selanjutnya PON pun terasa diaduk-aduk oleh para petinggi PSSI. Cabang sepakbola dan futsal pun terkena imbasnya. Ironis sekali, sebuah ajang besar diancam akan diboikot PSSI. Padahal tak jarang ajang ini melahirkan para bintang-bintang yang membela tanah airnya. Sebut saja Oktavianus maniani dan Yoshua Pahabol sebagai produk keluaran cabang sepakbola PON. Sangat aneh bukan?
Lama – lama masyarakat pecinta sepakbola maupun supporter Indonesia bakal apatis dan apriori dengan kondisi sepakbola di negaranya sendiri. Padahal olahraga ini begitu sangat pop di negeri ini. Yang ada sekarang hanyalah kata bosan, bosan, dan bosan. Mungkin jika terus seperti ini lapangan-lapangan rumput di desa-desa bakal sangat lesu dari gairah atmosfer sepakbola. Efek domino yang lebih parah adalah hilangya idola-idola sepakbola Indonesia karena terganti dengan maskot semisal Cristiano Ronaldo, Lionel Messi maupun Wayne Rooney . Hal ini bakal berimplikasi negative terhadap semangat nasionalisme anak-anak Indonesia, bahkan akan mampu merongrong kedaulatan tanah air. Seharusnya para petinggi sepakbola Indonesia sadar akan masalah kegalauan akut ini.
Terakhir adalah hal yang begitu miris saya rasakan ketika ada anak di desa saya yang berucap “ saya sudah bosan melihat timnas Indonesia yang jelek mainnya, mas. Mending nonton liga inggris apa liga spanyol!”, mencengangkan. Pernyataan ini pasti mewakili anak-anak diseluruh negeri ini yang rindu akan prestasi bangsanya. Bukan menjadi sebuah negeri pemimpi yang tak tahu kapan mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan. Sekali lagi, ironis !

Belajar dari Merger “Galatama dan Perserikatan”

Kompetisi Liga Indonesia musim depan masih menggunakan format baku ISL dan IPL. Ini merupakan buntut dari gagalnya negosiasi gunakan menemukan rekonsiliasi sebuah bentuk liga yang manunggal. Memang wacana mengenai format liga Indonesia yang baru dan segar telah di munculkan kepermukaan oleh CEO PT LPIS Widjajanto. Tapi hal itu masih berupa wacana yang menemukan tembok tebal nan tangguh dan susah ditembus.
Jika memang masih menggunakan format dua kompetisi, polemik lama yang mengorbit selama satu musim terakhir kelihatannya akan terus mengorbit. Salah satu problem menonjol yang dialami Liga Indonesia versi IPL adalah matinya pasar supporter tim tim yang bernaung dibawah panji – panji profesionalitas yang selama ini digaungkan oleh pengelola. Tak bisa di pungkiri supporter merupakan salah satu sektor yang menjaga kestabilan finasial sebuah tim. Analoginya seperti ini, semakin banyak supporter yang dating kestadion, semakin besar pendapatan tim.
Jika regulasi legal kedua kompetisi ini tetap berjalan. Hadir kemungkinan untuk tim-tim IPL berlabuh kedalam panji-panji ISL. Terakhir sebut saja Semen Padang dan Laskar Kalinyamat “Persijap” yang menyatakan ketertarikan untuk menempati rumah lama ynag telah mereka tinggalkan. Maka jika hal ini terjadi, musibah telah menimpa IPL. Dengan begitu IPL bakal kekurangan tim yang mengikuti kompetisi. Belum ada tim-tim ISL yang mengutarakan diri untuk masuk dalam lingkup spasial IPL.
Jalan terbaik dari kegalauan ini adalah dengan bergabungnya ISL dan IPL dalam sebuah liga yang manunggal dan professional. Jika kita tarik kebelakang, kejadina serupa tetapi tidak sama telah dilalui oleh PSSI. Hal tesebut merupakan peristiwa bersatunya dua kompetisi di Indonesia dalam satu kompetisi baru. Kala itu, kompetisi semi professional bernama “Galatama” bergabung dengan kompetisi perserikatan dalam bentuk format yang baru. Hasilnyapun tak mengecewakan. Kompetisi gabungan itu mampu berjalan lancar.
Galatama hadir sebagai sebuah hasil keprihatinan akan prestasi timnas yang merosot pada tahun 1970an. Para pengamat sepakbola Indonesia sekelas Kadir Yusuf, Nabon Noor, dan Sutiono J Alis mengusulkan agar dijalankannya sebuah liga yang semi professional. Maka terciptalah Galatama atas bantuan pengusaha sekelas Sigit Harjoyudanto pada tahun 1979. Peserta kompetisi ini berbeda dengan kompetisi perserikatan yang telah berjalan terlebih dahulu. Galatama diikuti oleh tim-tim bentukan perusahaan dan terlepas dari pendanaan pemerintah. Sebut saja Warna Agung, Jayakarta, Indonesia Muda, Arseto Solo, Tunas Inti, Cahaya Kita, Pelita Jaya,Niac Jaya, Petrikimia Gresik, Perkesa 78, Tidar Sakti dan lain-lain. Sedangkan Perserikatan konsisten dengan nama-nama Persis Solo, PSIM, Persebaya, PSIS dan lain-lain.
Kompetisi Galatama dan Perserikatan kala itu juga mengantongi legalitas seperti kasus ISL dan IPL sekarang. Tapi yang membedakan kala itu masih tetap sama dalam panji-panji PSSI, bukan seperti sekarang.Toh ketika kedua liga ini digabung pada periode kompetisi 1994, tim-tim yang berlaga juga mampu menerima dengan lapang dada sebuah kompetisi baru dan segar.
Harusnya para petinggi PSSI belajar dari sejarah masa lampau. Peristiwa Merger damai anatara Galatama dengan Perserikatan. Memang kala 1994, kondisi PSSI berbeda dengan sekarang. Tapi setidaknya ada sebuah kesamaan dimana dua kompetisi legal di Tanah Air ini mampu di akomodasi dalam sebuah liga baru.
Masih banyak hal penting yang harus dibenahi para pemangku organisasi sepakbola di negeri ini. Bukan melulu berkutat dengan dualisme organisasi, kompetisi, dan timnas. Pembibitan generasi-generasi muda haru segera diperhatikan, kalau tidak, pada level sekelas Asia tenggara pun Mantan Macan Asia ini bakal ompong. Setidaknya jika PSSI mau mengkahiri polemik liga ini, maka mereka telah menyelesaikan satu pekerjaan. Itu artinya telah member harapan baru untuk sepakbola Indonesia. Harapan baru untuk sebuah kejayaan.
Namun jika hal ini tidak segera diatasi, malah akan menjadi bom waktu yang akan meledakan dan membunuh prestasi Indonesia. Analoginya sederhana, jika Galatama dan era Perserikatan bisa disatukan, kenapa ISL dan IPL tidak bisa?

TIMNAS PANTAS UNTUK DIPERTAHANKAN.

Ketika timnas kita kalah 2-0 oleh Malaysia, maka berakhrilah sudah petualangan Indonesia dalam ajang AFF cup 2012. Tapi setidaknya ada hal positif yang harus disyukuri selama petualangan di AFF cup ini. Kita disuguhkan oleh semangat patriotisme membela tanah air yang begitu menggelora hingga menit akhir pertandingan. Walaupun mayoritas para pasukan yang dinahkodai oleh Nil Maizar ini minim jam terbang dalam membela Indonesia di ajang Internasional. Tim ini juga patut dipertahankan untuk laga-laga timnas berikutnya. Mungkin dengan menambah beberapa pemain baru akan membuat tim ini lebih kuat. Yang Jelas tiki-taka mulai berjalan halus dan umpan-umpan lambung mulai diminimalisir. Salut untuk para punggawa garuda. Mereka mampu menunjukan gelora pejuang ditengah kemelut sepakbola Indonesia. Semoga saja dalam kualifikasi Piala Asia yang berlangsung mulai bulan Februari 2013, timna s mampu berbicara banyak menghadapi tim-tim sekelas Irak, Arab Saudi, dan Cina.
Bravo Sepakbola Indonesia

Duka Sepakbola Indonesia

Setelah beberapa bulan yang lalu, Bruno Zandonadi, mantan pemain Persikota Tangerang meninggal dunia dalam keadaan sakit. Berita buruk itu terulang kembali, selasa (4/12), Langit mendung menanungi sepkbola Indonesia ketika Diego Mendieta menghembuskan nafas terakhirnya di RS Dr. Moewardi Solo. Ironis sekali, pemain berusia 31 tahun ini meninggal dalam keadaan gajinya yang belum dilunais oleh mantan klubnya, Persis Solo versi LI. Berita ini pantas menjadi cambukan bagi para petinggi sepakbola Indonesia baik PSSI maupun KPSI. Manuver dan kengototan mereka menimbulkan efek kompleks dan menyeluruh bagi sepakbola Indonesia. Harusnya para petinggi itu sadra bahwa keegoisan mereka menimbulkan malapetaka bagi orang-orang yang mencari nafkah lewatt sepakbola. Tim-tim yang berlaga di ISL maupun IPL kesulitan dalam mendapatkan pendanaan. Alhasil tunggakan gaji menjadi endapan terakhir yang ditimbulkan dari kemelut itu. Semoga Diego menjadi yang terakhir. Selamat jalan Diego, selamat berpulang dengan damai ke Paraguay !

Makassar- Australia : Sebuah Hubungan Melalui Sistem Maritim

Awalnya, berita tertua yang mencatat perjalanan berupa pelayaran orang-orang Bugis ke Australia menurut A.A Cense adalah berupa pengetahuan yang dia temukan melalui laporan perjalanan yang diterbitkan oleh Alexander Darlymple pada tahun 1788. Pedagang Inggris itu mengatakan mengenai pelayaran-pelayaran yang sangat jauh telah dilakukan oleh oran Bugis. Pelayaran tersebut mencakup Papua dan New Holland (Australia). Tetapi fakta tersebut tidaklah cukup kuat dan cenderung membesar-besarkan menurut A A Cense.
Berita yang lebih meyakinkan mengenai pelayaran orang Bugis dan Makassar ke Australia di dapatkan dari Thomas Forrest. Forrest menjelaskan mengenai motif pelayaran orang-orang Bugis ke Pantai Utara Australia yang kemungkinan besar adalah teluk Carpentaria adalah untuk mencari tripang. Kapal-kapal Cina yang menjadi tengkulak tripang biasanya siap menampung hasil buruan mereka. Berita dari Thomas Forrest juga menyinggung adanya emas di wilayah Australia bagian utara.
Berita yang kedua yang meyakinkan A A Cense adalah penjelasan dari Matthew Flinders. Flinders mengunjungi Australia pada tahun 1802 dan 1803. Kunjungan tersebut difokuskan pada wilayah pantai utara Australia dan teluk Carpentaria. Dalam penyelidikan Flinders, dirinya menemukan bukti-bukti bahwa pengaruh-pengaruh asing telah muncul diwilayah tersebut. Adanay beberapa pohon yang ditebang menggunakan kapak dan ditemukannya pecahan-pecahan kendi diwilayah tersebut. Di beberapa pulau kecil Flinders menemukan bukti-bukti berupa adanya topi anyaman bambu, topi daun palma yang dijahit menggunakan benang, kapas bekas celana dan bagian-bagian dari tubuh kapal yang diletakan di wilayah itu semakin mengkuatkan bahwa ada pengaruh asing diwilayah pantai utara Australia. Flinders pada 17 Februari 1803, megalami pertempuran dengan enam buah kapal melayu. Setelah dilakukan perundingan diketahui bahwa kapal-kapal melayu itu berasal dai Sulawesi Selatan. Menurut salah satu informan yang berasal dari kapal-kapal melayu yang bernama Pobassoo, dijelaskan bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok besar yang terdiri dari enampuluh kapal yang khusus berlayar ke pantai utara Australia dan teluk Carpentaria untuk mencari tripang. Kelopok besar tersebut dipimpin oleh Sallo dibawah perintah kerajaan Bugis. Sistem yangdilakukan kelompk besar itu adalah menyebar dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pobassoo dalam jangka waktu 20 tahun telah melakukan pelayaran ke pantai utara Asutralia dan sekitar teluk Carpentaria dengan tujuan serupa sebanyak 6-7 kali.
Ketika Flinders melakukan pelayaran di sekitar Kupang, dia menemukan Informasi mengenai kelompok pencari tripang yang Berasal dari Bugis dan Makassar dai penduduk setempat. Informasi yang didapat Pobasso adalah bahwa orang-oran Bugis juga pernah mencari tripang diwilayah pulau Rote dan Jawa. Setekah pelayarn di wilayah Rote dan Jawa, kapal-kapal bugis tersebut berlayar ke pantai utara Australia yang memiliki tripang dalam jumlah yang massive.
Pada tahun 1803 wilayah pantai utara Australia diteliti oleh Perancis. Berdasarkan dari keterangan F. Peron dan L. Freyncinet bahwa pada bulan April 1803 telah terjadi perjumpaan dengan kapal-kapal Melayu yang berjumlah sekitar 24 atau 26 kapal di dekat pulau Cassini. Selanjutnya , perjalanan –perjalanan yang dilakukan Philip P. King ( 1818-1822) menemukan kapal Melayu disekitar pualau Sims yang mencari tripang. King kemudian menggunakan kunjungan ke kupang untuk mencari informasi lebih jauh mengenai pencarian tripang yang dilakukan oleh kapal-kapai Bugis. Didapatkan Informasi dai Doramang bahwa setelah tiba diperairan Australia , kapal-kapal tersebut berlayar menuju kearah timur dengan meninggalakan 15 atau 16 perahu diwilayah tersebut.
Baron van der Capellen dalam catatan hariannya tentang para pedagang tripang dari Makassar menyebutkan bahwa para pedagang tersebut mengunjngi Australia sejak lama , bahkan sejaka Belanda belum mengunjungi Makassar. Selain itu catatan terpenting lainnya adalah berita dari J.N. Vosmaer yang pada tahun 1831 dan 1834 mengunjungi Kendari. Disana terdapat Suku Bajo yang mengenal Tripang Marege ( berasal dari Australia bagian utara) dan Tripang Jawa.
Alhasil Kehidupan masyarakat Australia bagian utara sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya para penangkap tripang yang berasal dari Makassar. Pengaruhnya berupa teknik pembuatan kapal dengan menggunakan batang pohon dan dilengkapi layar merupakan teknik gaya Makassar. Kemudian adanya pohon asem yang ditanam oleh pencari tripang asal Makassar menjadi bukti yang jelas di lengkapi adanya barang-barang logam khas Makassar yang kemingkinan besar melalui proses barter sehingga barang-barang tersebut dapat menjadi milik warga pribumi Australia bagian utara. Dalam hal bahasa, bahasa yang sering digunakan suku-suku di Australia bagian utara dikenal dengan “pidgin Malay” ternyata banyak mengandung unsur bahasa Makassar. Dalam pembuatan nama, juga sering kali sedikit p\banak terpengaruh oleh nama-nama dari Makassar.

Sumber :
Cense, A dkk, Pelajaran dan Pengaruh Kebudajaan Makassar-Bugis di Pantai Utara Australia, Djakarta : Bharata, 1972

Menjamah Museum ketika Senja Menyapa

Bagaimana jika benda-benda koleksi sebuah museum mampu hidup ketika malam hari? Wow, pasti sangat menyeramkan bukan. Masih Ingat Film Night At The Museum yang pernah rilis melalui 2 seri? . Ya, Film yang menceritakan Larey Daley harus berhadapan dengan para makhluk penghuni museum yang bisa hidup ketika senja menyapa. Petualangan pun terjadi di dalam film ini. Sosok-sosok legendaris seperti Alberth Einsten, Napoleon, dan Abraham Lincoln menjadi teman akrab Larey ketika malam datang.
Di Yogyakarta, hal senama tapi berbeda konsep dihadirkan oleh para mahasiswa dari FIB UGM . Mereka adalah Ika Tantri , Erwin, Yayum, Ody dan Bachtiar membuat acara yang mampu dijadika sebagai wahana rekreasi alternatif bagi khalayak umum, khususnya generasi muda. Acara yang diberi nama Yogyakarta Night At The Museum ini merupakan sebuah acara yang sangat menarik. Mengunjungi museum ketika malam hari merupakan sebuah hal yang baru.
Biasanya museum dibuka pada jam-jam kunjungan siang. Tapi Yogyakarta Night At The Museum ini membuat kunjungan lebih mengasyikan karena melawan patron kebiasaan. Lokasi yang digunakan adalah Museum Benteng Vredeburg. Museum yang berlokasi di jantung kota Jogja ini merupakan sebuah kawasan yang strategis karena tersinkronisasi dengan tempat wisata lain. Antara lain Malioboro, Taman Pintar , dan Keraton Yogyakarta.
Kegiatan kunjungan sendiri telah dilakukan sebanyak lima kloter. Dari masa ke masa peminat kunjungan ini mengalami fluktuasi dengan kecenderungan meningkat,” bahkan pernah ada peminat yang datang dari Jakarta” tutur Ika Tantri ketika diwawancarai. Dalam paket wisata ini para peserta juga mendapatkan konsumsi. Mayoritas para peminatnya selama ini adalah generasi muda dan mahasiswa, baik s1 maupun s2.
Acara ini merupakan sebuah trobosan yang postif untuk menumbuhkan minat masyarakat Indonesia untuk mengunjungi dan melestarikan museum. Bukankah Bung Karno pernah berucap “ Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah !” . Museum merupakan tempat untuk menjaga memori kolektif bangsa ini. Selain itu juga merupakan media pendongeng untuk anak cucu kita agar tidak amnesia terhadap masa lalu.

SEMOGA MENDIETA MENJADI YANG TERAKHIR.

Cerita pilu kembali menaungi sepakbola Indonesia. Setelah beberapa bulan yang lalu mantan pemain Persikota Tangerang Bruno Zandonadi menggembuskan nafas terakhirnya di negeri rantau baginya. Kemarin selasa Diego Mendieta mengulang kejadian yang serupa. Kabar duka datang pada selasa dinihari di RS Moewardi Solo. Mantan pemain Persis Solo versi PT Liga Indonesia divonis terserang virus Cylomegalo yang menyebabkan daya tahan tubuh pemain asal Paraguay ini menurun dan telah menyerang otak dan matanya. Selain itu jamur Candidiasis juga menyerang bagian tubuh lainnya.
Hal itu semakin menyesakkan karena gaji Mendieta selama memperkuat Persis Solo versi PT LI belum seutuhnya terbayar. Hal itu sangat berbanding terbalik, bagaikan langit dan bumi dengan para pemain yang berkiprah di sebagian Eropa. Pada 2005 di Inggris sebut saja nama sekelas Frank lampard dan Sol Campbell yang dibayar sebesar Rp.1,7 Milyar sepekan dan hal itu setara dengan Rp. 85 milyar dalam jangka waktu setahun. Memang terkesan “lebay” jika kita membandingkan antara sepakbola Indonesia dengan sepakbola Inggris . Indonesia terlihat hamper kalah telak dari semua segmen sepakbola Inggris. Mulai dari sistem kompetisi, neraca keuangan tim-tim kontestan EPL, hingga supporter. Tapi setidaknya melalui sepakbola Inggris, Indonesia bisa belajar.
Kondisi FA sebagai badan otoritas tertinggi dalam mengurusi segala seluk beluk sepak bola di Inggris memiliki tingkat kestabilan bagus. Maka dari itu FA mampu menghadirkan kompetisi kelas wahid di muka bumi. Tim-tim yang berlaga pun mampu menjaga kualitas liga sehingga banyak bintang yang bergabung tanpa harus was-was dengan permasalahan gaji. Lihat saja seorang Frank Lampard pada tahun 2005 mampu mengantongi Rp. 1,7 milyar dalam waktu sepekan. Bandingkan saja dengan gaji yang ditunggak Persis versi PT LI sebesar Rp. 131 juta untuk beberapa bulan.
Hal yang sangat ironis dan berbanding terbalik bagaikan langit dan bumi terjadi di Indonesia. Polemik gaji yang nunggak beberapa bulan seolah menjadi hal yang wajar bagi para tim kontestan di kompetisi IPL maupun ISL.Meninggalnya Diego Mendieta karena sakit dan tidak mempunyai uang untuk berobat maupun membayar kosnya menjadi titik klimaks dari prahara ini. Para petinggi yang katanya peduli dengan sepak bola Indonesia harusnya peka dengan keadaan ini. Karut- marut persepakbolaan Indonesia telah menelan korban jiwa.
Sebenarnya egoisitas para petinggi sepakbola Indonesia yang telah berlangsung lama ini telah menghadirkan permasalahan yang begitu kompleks dan sangat kronis. Dari sisi turnamen Internasional , polemik ini bias dibilang mengakibatkan timnas Indonesia gagal total. Di mulai dengan babak belurnya prestasi timnas diajang kualifikasi Piala Dunia 2014. Dilanjutkan kegagalan merengkuh medali emas dalam ajang SEA Games yang berlangsung di negeri ini. Yang terakhir, tersingkirnya Indonesia menuju semi final piala AFF 2012 yang berlangsung di Malaysia dan Thailand. Track Record timnas sendiri diajang AFF kali ini bias dikatakan buruk. Bermain seri melawan Laos yang dua tahun lalu dihajar Indonesia di Gelora Bung Karno dengan enam gol tanpa balas. Kemudian menang tipis 1-0 saat mengandaskan 10 pemain Singapura. Sebenarnya pada laga pamungkas melawan Malaysia, timnas hanya butuh seri, tapi apa daya Harimau Malaya menginjak-injak Indonesia dengan gelontoran 2 gol tanpa balas.
Diajang internal sendiri sepakbola Indonesia dalam kondisi kelam. Tarik ulur antara liga yang sah dan tidak sah. Kemudian jadwal liga yang berantakan ditopang dengan keungan sebagian klub yang sangat buruk. Alhasil kasus penunggakan gaji seperti yang dialami Diego Mendieta menjadi hal ihwal yang wajar.
Jika para petinggi sepakbola Indonesia masih menunjukkan ego masing- masing dan membuat otoritas FIFA geram. Harusnya pemerintah segera turun tangan menyelesaikan masalah ini, kalau perlu tegas. Ditinjau dari strata hierarkisnya PSSI berada di bawah KONI yang menaungi seluruh organisasi olahraga di Indonesia. Diatasnya KONI bernaung pemerintah dalam panji-panji Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Ya, dengan konsekuensi FIFA akan memberikan sanksi jika pemerintah disebut melakukan intervensi. Tapi setidaknya sanksi selama 1-3 tahun menajdi hal yang patut disyukuri jika sanksi itu menjadi sumbu awal pembenahan sepkabola Indonesia. Dan akhirnya, kelak suatu saat nanti tidak akan timbul masalah penunggakan gaji. Tidak timbul Mendieta- Mendieta lain. Di Dalam hati saya masih percaya bahwa kelak Indonesia akan kembali jaya !

Mau Dibawa Kemana Para Pemain PON ?

Pekan Olahraga Nasional telah usai. Cabang Ssepakbola sebagai cabang yang palin favorit telah mendapatkan jawaranya. Tim Kalimantan Timur mampu menyabet medali emas setelah dalam partai final menggebuk tim kuat Sumatera Utara dengan skor tipis 1-0. Sejak wal memang pertandingan cabang olahraga sepakbola hadir dengan penuh gejolak. Dari kesimpansiuran peserta, jadwal yang molor, hingga penarikan sang pengadil lapangan oleh PSSI seakan melengkapi kompleksitas kekacauan ini. Untungnya wasit-wasit ISL didatangkan. Tapi toh, PSSI tetap menaruh para pemandu bakatnya di Riau hingga partai puncak.
Selanjutnya, Mau dibawa kemana para pemain muda berbakat nan penuh talenta yang telah unjuk gigi di Kota Air ini? . Mungkin kita bisa berkaca pada Olimpiade London yang digelar belum lama ini. Ada kesamaan antara PON dan Olimpiade. Keduanya merupakan event “multi olahraga” yang membedakannya hanyalah pada srata dan ruang lingkup (Spasial). Olimpiade London, khususnya cabang sepakbola yang dimenangkan oleh Meksiko telah menghasilkan bintang-bintang muda nan ciamik yang siap dilahap oleh pasar. Sebut saja Geovanni Dos Santos, Neymar, Jordi Alba, Dan Oscar. Sosok terakhir, pemain asal berhasil ini telah dipinang klub kaya raya Chelsea. Ya, disamping mendapatkan gelontoran materi, Oscar juga mendapatkan pengalaman untuk bermain dalam kompetisi kelas wahid. Hal itu bakal berimplikasi positif bagi Brasil yang kan berjuang menjuarai World Cup 2014. Sebelumnya, jauh kebelakang, Olimpiade selalu konsisten menghasilkan bintang-bintang sekelas Carlos Tevez, Lionel Messi,ataupun Fenando Torres.
Hal serupa juga terjadi pada gelaran sepakbola PON Riau kali ini. Bintang-bintang muda siap diditerima pasar sepakbola Indonesia. Munculnya sosok Aldaire Makatindu (Kaltim), Mucsit Arias (Riau), Muhammad Solih (Sumut), dan Nelson Along (Papua). Nama-nama yang disebut ini adalah sebagian kecil dari mutiara muda Indonesia. JIka mampu dkelola dan diolah secara benar dan siatematis, tidak heran jika mereka akan menjadi langganan garnisun timnas merah putih seperti Budi Sudarsono ataupun Okto maniani. Tapi bisa sebaliknya juga, mutiara ini bakal tenggelam, redup, dan kemudian hilang jika gejolak dalam tubuh sepakbola Indonesia masih seperti ini. Sama-sama mempertahankan keegoisannya,
Harusnya PSSI menggunakan PON ini sebagai momentum akbar untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan malah semakin membuat sepak bola Indonesia rumit bak benang kusut. Penyatuan liga merupakan altenatif bijak dan legowo untuk mewadahi para jebolan PON riau ini merasakan atmosfer sepakbola professional. Agak cerah ketika muncul wacana tentang Liga Merah Putih. Kondisi kompetisi yang tunggal, konsisten dan kondusif merupakan kawah candradimuka yang baik untuk pemain muda. Dengan kondisi seperti itu, regenarasi dan pembibitan usia dini bisa diesbut berhasil.
Implikasi positifnya adalah Timnas merah putih.Negara merupakan puncak wadah dari pembibitan usia dini. Dalam posisi ini negara bakal memanen buahnya. Hasilnya adalah para pemain dari berbagai macam daerah yang siap disetorkan ketimnas. Niscaya dengan kondisi tersebut, Indonesia bakal memiliki tim nasional yang sangat kuat dan memiliki kedalaman tim.
Indonesia mungkin bisa belajar dari Argentina ketika menjuarai Olimpiade. Argentina mampu menjual dan memoles para bintang olimpiade pada tim-tim besar di Eropa. Sosok Carlos tevez dan Lionel Messi adalah contoh jebolan olimpiade. Untuk Indonesia setidaknya para pemain yang berlaga di PON setidaknya mampu menaikan nilai jual mereka untuk dilamar oleh tim-tim professional yang bermain dikancah nasional dari berbagai macam strata dan kasta. Banyak pemandu bakat yang bergentanyangan di PON untuk menemukan bintang-bintang muda.implikasinya positif sekali.
Harusnya PSSI sadar. Membuka lembaran baru setelah usai kompetisi, ditandatanganinya Mou, kemudian yang terakhir PON merupakan gerbong untuk mengejar negara-negara serumpun yang telah semakin jauh meninggalkan kita. PON Riau telah memberikan sinyal bahwa harapan telah dating dari generasi muda nan polos. Harapan akan kejayaan. Harapan akan prestasi. Jika para petinggi yang berkecimpung di lingkup sepakbola Indonesia masih seperti ini bisa saja bintang-bintang yang mulai bersinar itu akan redup. Masalahnya sederhana, kompetisi yang kurang kondusif.

Jawara Tumbang di tengah Jalan

Meski mencetak selusin gol ketika melawan Nordsjaelland di gase group liga Champion, Chelsea tetap tidak mampu melaju ke fase selanjutnya. Hal itu dikarenakan Juventus mampu meraup point penuh ketika bermain di kandang Donestk. Ya, ironis sekali. Musim lalu pasukan London Biru ini mampu membawa pulang tropi liga Champion ke London. Raihan Chelsea ini menjadi sejarah baru dalam perhelatan liga Champion,bahwa sang juara musim lalu gagal lolos dari fase group di musim selanjutnya.
Tapi jika dilihat dari sisi yang positif, kegagalan Chelsea merupakan berkah untuk fokus pada pertandingan-pertandingan selanjutnya. Energi para pemain bisa dituangkan sepenuhnya pada Piala Dunia antar klub yang berlangsung Desember ini. Setidakanya gelar bergengsi jawara antar benua ini akan sedikit mengamankan posisi Rafael Benitez yang dibenci pendukung Chelsea. Selain itu misi mengejar title juara liga Lokal akan menjadi media Chelsea untuk mencurahkan energi mereka.

Jathilan Sebagai Identitas Budaya Karangtaruna Sekartama

Minggu, 23 Desember 2012. Langit mendung menanungi dusun Monggang, tetapi kondisi itu tak menyurutkan semangat para anggota karang taruna dusun Monggang untuk menggelar pentas kesenian Paguyuban Jathilan Kudho Mataram.Pertunjukan kesenian jathilan tersebut dalam rangka memperingati HUT organisasi pemuda karangtaruna sekartama yang ke-20 , seperti yang dituturkan ketua panitia Riza Bramantya yang ditemui disela-sela pertunjukan. Menurut Riza, alasan memilih pertunjukan Jathilan adalah sebagai wujud apresiasi terhadap kesenian rakyat yang telah berkembang semenjak masa kerajaan. Acara ini menjadi menarik karena biasanya peringatan HUT organisasi karangtaruna mayoritas dengan menampilkan kesenian yang bersifat modern seperti dengan mengundang atau menampilkan grup band.
Dalam pementasannya, seluruh penari merupakan anggota dari karangtaruna Sekartama dan anak-anak dusun Monggang Pendowoharjo Sewon Bantul. Pertunjukan ini dibagi menjadi dua babak. Babak yang pertama dipentaskan oleh anak-anak dusun Monggang. Sedangkan babak yang kedua dipentaskan oleh para anggota karangtaruna Sekartama.

“Berburu Candi”


Yogyakarta, 23 Oktober 2012.
Sebenarnya aku tak biasa untuk menuliskan semua aktivitas dalam goresan pena maupun “tekanan” tombol-tombol keyboard. Tapi malam ini entah kenapa aku sangat ingin membagi kisahku dengan kalian. Mungkin cerita ini kalian anggap tidak penting, hehehe. Tapi tak ada salahnya to aku berbagi dengan njenengan-njenengan sekalian. Oke tak perlu berpanjang-panjang ria aku kan segera memulainya. Cekidoooooooooot guyyyyyyyyys. (guys merupakan kosakata yang beitu populer ketika aku kuliah, hihihi :P)
Pagi ini, ketika jarum jam belum menjamah pukul setengah delapan pagi. Kau telah memarkirkan motor Honda Karisma yang konon katanya membuat penunggangnya memancarkan karisma dirinya, (hahaha) di daerah Piyungan. Ya, hari ini aku sengaja meninggalkan atau cuti sehari ubtuk tidak bergumul dengan sapi-sapi mbahku. Karena hari ini kau akan menjemput dek pacar tercintaaaaaaaaaah :* . Memang tak sperti biasanya , hari ini kami punya niatan untuk bersilahturahmi ke Candi UII. Memang kami berdua ini terbilang pasangan nyleneh yang punya hobi nyeleneh pula. Dari blusukan mencari mie ayam di pelosok-pelosok nusantara, hingga memburu trumpukan batu yang bernam candi.
Tepat jam 8 pagi WIB, dek pacar telah sampai tak kusadari. Dia hanya sms yang berbunyi sperti ini “Liat Barat” untuk menunjukan bahwa dirinya telah hadir disebelah baratku, kira-kira dalam radius 7m, hehehe. Ya, memnag tak biasa dia sms seperti itu. Malam harinya sebelum kita ketemu, kita memang sedang ngambekan karena aku ketiduran dan tidak membalas smsnya. Tapi yang namanya ciinttttaa, pagi itu pun ngambenknya dia luluh setelah aku boncengin dengan Honda karisma yang sudah paruh baya dan kadang terbantuk-bantuk dijalan. Maklum motor rakitan tahun 2003 yang juarang banget dirumat si empunya.
Kami meluncur perlahan tapi pasti menuju soto langganan kami didaerah Rejowinagun. Seperti biasa kami memesan dua soto, dua gorengan, satu sate usus. Dan yang anehnya dek pacar Cuma memesan satu gelas teh anget. Ketika saya tanyakan kenapa hanya memesan satu, jawabnya sederhana : “Aku udah bawa minum sendiri “ versi bahasa Indonesia. Eeeee ternyat ketika selesai makan the angetku tetep diserobotnya, jadi kita romatis, minum satu gelas berdua. Xixixixi
Kenyang makan. Kau kembali memcau karismaku menuju kampus, tepatnya disekolah vokasi, untuk mengantar dek pacar ujian tengah semester. Sialnya nyampe kampus aku lupa bawa KIK (semcam kartu tanda bahwa sepeda motor boleh keluar masuk kampus UGM tanpa hatus bayar sewu). Terpaksa kami harus parkir agak jauhan dari ruang ujian dia. Tapi tak apalah, jika dilalui berdua teteup romantis. :P
Singkat cerita, dek pacar udah selesai ujian dan kami langsung cabut keutara membelah jalan kaliurang yang padat akan lalu lalang kendaraan. Sekitar jam 11 siang, kami nyampe UII, sialnya dan gobloknya candi itu berada di areal perpus UII dan terpampang bahwa ynag menggunakan kaos dan sandal DILARANG MASUK !. Dan ketika itu kami memenuhi persyaratan untuk dilarang masuk ke perpus. Soalnya kami memakai kaos oblong bertajuk couple yang bergambar arjuna dan srikandi dan sandal gunung merk eiger yang saya rasa bertaju couple juga. Karena niat awal kami adalah ngreyen keduanya. Alhasil kami hanya melihat dari luar pagar dan berphoto-photo ria dengan sedikit menyesal.
Ketika duduk istirahat di depan pintu perpus UII, kami berngobrol-ngobrol ria dan disepakati untuk lanjut mengunjungi candi Kalasan. Tanpa berpikir panjang kami memacu karisma kearah kampus untuk Sholat dan makan siang. Eitss kali ini kita gak jajan mie ayam lagi tapi nyoba-nyoba buat jajan di Mirota Café. Dan Alhasil kami makan, makanan yang engga biasa kami makan. Rasanya bisa dibilang lumayaaaan lah . sushi dan chicken tempura ditemani lemontea, dan kopi panas (neg ra salah).
Kenyang makan kami langsung memacu si karisma kearah timur propinsi Yogyakarta. Setelah 30 menit perjalanan kami akhitnya nyampe ke Candi kalasan walaupun sempat geblandang 300 meter. Dengan membayar 4000 rupiah kita berdua serasa menjadi pemiliki candi itu, lha wong sepi banget. Yang ada hanya para petugas pembersih candi dan satu turis Thailand yang bernama seri na (kalo engga salah sih). Dek pacar yang agak fasih berbahasa Inggris mencoba bercuap-cuap dengan si turis, dan aku hanya bisa mengangguk-ngangguk sok tau seolah ngerti yang mereka omongin. (padahal engga dong, hehehe). Setelah ngobrol yang lumayan lama, naga-naganya si turis menawarkan tumpangan mobil, tapi apa daya kami telah membawa si karisma. Di Candi Kalasan, dek pacar begitu sangat tertarik dengan situs candi itu. Aku rasa di lebih kritis dari pada diriku yang nota bene anak jurusan sejarah yang konon katanya calon sejarawan. Hehehe. Dia Tanya ini itu kepadaku dan aku berusaha menjawab sebisanya walaupun kadang-kadang ada yang engga aku ketahui. Selesai menjamahi candi dan berpoto-poto ria kami melanjutkan perjalanan ke candi Sambi Sari.
Di Candi Sari . aku begitu takjub dengan kebesaran tuhan, dimana pernah ada sebuah musibah besar yang mampu mengubur peradaban kala itu. Candi Sambi sari merupakan salah Candi yang menjadi korban keganasan Merapi, candi itu sekarang seakan berada di sebuah cekungan yang lumayan dalam. Nah disini lagi-lagi kami dibuat takjub dengan benda yang namanya lingga yoni, hehehe. Memang sih, diesmua candi yang pernah kita kunjungi kami selalu menaruh perhatian lebih terhadap lingga yoni. Nah kita disini kita mendapat guide kecil alias anak-anak yang tinggal disekitar areal candi. Ada hal yang membuat terpana ketika anak-anak itu dengan antusias menjelaskan seluk beluk candi. Dan mereka malah lebih hafal arca-atca yang ada di situ daipada saya yang konon katanya sejarawan. Malu bercampur bangga. Hehehe
Pukul setengah 4 sore. Setelah dirasa cukup kami meninggalkan Sambi Sari untuk pulang. Tapi dalam perjalanan pulang kita mampir kesebuah situs yang bernama gua Sentana. Letaknya diwilayah Piyungan dan tak jauh dari wilayah yang beberapa saat yang lalu pernah booming denga Corp Circlenya. Hehehe. Situs ini kecil dan kurang terawatt, akses menuju situs ini juga masih jalan yang tidak beraspal. Aku rasa ketika musim hujan jalanan ini berubah menjadi genangan lumpur. Miris sekali. Sesampainya disitus kami mendapati goa kecil yang lagi-lagi didalamnya terdapat lingga yoni dengan ditemani relief arca yang kurang nampak jelas. Tapi aku rasa situs ini tidak diperhatikan oleh pemerintah. Mengenaskan.
Disini pula perjalanan memburu candi pada hari ini berakhir. Kami memacu si Karisma perlahan tetapi pasti menuju Piyungan dan kembali pulang kerumah masing-masing. Kami harap dilain waktu bisa menjamah candi-candi lain di sekitar Nusantara dan bisa berbagi melalui tulisan. Amien. :*

BELAJAR DARI “DERBY” ALA JAWA

Berita duka kembali menyelimuti sepak bola Indonesia. Pertandingan yang bertajuk “duel klasik “ antara Macan Kemayoran (Persija ISL) melawan Maung Bandung (Persib) kembali meminta korban. Duel yang kali ini berlangsung di SUGBK ini mengakbitkan 3 penonton meninggal akibat di keroyok massa. Stadion yang harusnya menjadi tempat para penonton memerdekakan diri malah menjadi tempat yang “menyeramkan”. Memang partai klasik antara Persija vs Persib selalu berlangsung panas dan ketat. Ya, pertandingan antara kedua tin ini layaknya partai final yang haram jika salah satu tim menelan kekalahan. Aura panaspun tidak hanya di dalam lapangan, namun ditribun penonton begitu juga.
Pertandingan derby pasti akan berlangsung panas. Lihat saja debry Milano antara AC Milan vs Inter Milan, Liverpool vs Everton, Chelsea vs Queen Park Ranger yang sampai mencuatkan isu rasisme yang dilakukan John Terry kepada Anton Ferdinand. Ketika pertandingan derby sepakbola bukan hanya permainan di lapangan hijau, melainkan sebuah kompleksitas antara olahraga, gengsi dan emosi.
Namun apakah partai derby harus diakhiri dengan kekerasan yang terjadi diluar lapangan?. Padahal ketika duel klasik antara Persija vs Persib para pemain dilapangan tampak tampil sportif. Apapun bentuk kekerasan dalam lingkungan sepak bola tidak dibenarkan. Karena sepakbola merupakan olahraga yang menjujung tinggi sportivitas dan fair play. Bukankah slogan dalam pertandingan sepakbola adalah “My Game is Fair Play” ?
Jauh ditarik kebelakang, tepatnya sebelum Indonesia merdeka pertandingan derby yang pada saat itu sangat ketat tapi berlangsung kondusif seperti yang dilukiskan oleh Sugiarta Sriwibawa. Derby itu adalah pertandingan antara Persis Solo melawan PSIM Yogyakarta. Ketika itu sepakbola merupakan hiburan yang sangat laris dikalangan penduduk pribumi. Sepakbola merupakan tempat pelarian disaat penat. Saat itu pertandingan berlansung di lapangan Sriwedari Solo pada malam hari dikarenakan bulan puasa. Pada masa itu Persis dan PSIM merupakan klub-klub besar di wilayah Jawa. Hal itu terbukti dengan raihan trophy kedua tim. Jadi menjadi hal yang wajar jika bertandingan berlangsung panas dan ketat. Unsur kenangan sejarah masa lampau juga membungkus panasnya derby ini. Memang wilayah Solo dan Yogyakarta merupakan wilayah pecahan dari kerajaan Mataram Islam. Kerajaan tersebut terbelah karena perjanjian Giyanti 1755. Kedua wilayah tersebut merupakan pewaris sah tanah Jawa. Jadi tak heran jika unsur historis itu merasuk dalam pertandingan sepakbola.
Pertandingan yang berlansung pada malam hari itu berjalan ketat. Para pemain Persis mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mengalahkan para pemain PSIM. Alhasil Persis saat itu menang besar. Hal yang menarik pada saat itu masih terlihatnya rasa malu jika mencetak gol lewat penalty. Hal itu mungkin merupakan cerminan budaya jawa yang memiliki rasa pakewuh . Yang lebih menarik lagi adalah sikap kedewasaan keduabelah pendukung. Para pendukung PSIM diijinkan menonton dengan aman dan nyaman di lapangan Sriwedari SOLO yang notabene merupakan kandang sang rival. Para pendukung PSIM dating menggunakan kereta, taksi, andong bahkan sepeda. Tetapi mereka tidak mendapatkan ancaman dai para pendukung solo secara verbal. Ya, mungkin sindiran-sindiran menjadi hal yang wajar dalam sepakbola.
Pertandingan derby antara Persis dan PSIM tersebut mungkin bisa dijadikan contoh untuk para supporter pada masa sekarang. Fanatisme yang heroik boleh-boleh saja tapi segala bentuk kekerasan dalam dunia sepakbola harus diharamkan. Sepakbola Indonesia sudah pesakitan dengan segala polemik yang menaungi PSSI. Dualisme kepemimpinan, dualisme kompetisis, degradasi kualitas kompetisi, dan krisis prestasi telah mengakibatkan sepak bola Indonesia mengalami masa “Dark Ages” atau zaman kegelapan. Jangan ditambah dengan bentrok dan tawuran antar supporter. Bukankah supporter harus menjadi penyeimbang dan penyelamat dari zaman kegelapan ini? Bukan malah mengobarkan fanatisme sempit untuk mendukung timnya?. Kalau sepakbola masih saja dala, masa Dark Ages seperti ini, niscaya sepakbola Indonesia akan segera tertinggal dari para tetangganya.
Untuk para supporter sepakbola yang ada di Indonesia dewasalah!. Fanatisme sempit tidak akan memberikan sebuah kebahagiaan jika ada korban disisi lain. Stadion yang tidak kondusif bakal merugikan bagi tim jika terkena sanksi dari Komdis PSSI. Tim akan kehilangan pemasukan dari tiket dan para supporter akan kehilangan kesempatan melihat tim kesayanganny berlaga di kandang. Merugikan sekali. Terakhir mengutip kata-kata dari kapten Persjia, Bambang Pamungkas “berbeda bendera bukan berarti kita tidak bersahabat”

Ekspansi Barat Ke Asia Tenggara

Kedatangan bangsa – bangsa Barat ke Asia tenggara telah berjalan lama dan melalui proses yang sangat panjang. Portugis dating pada tahun 1511. Dimulai dengan pendudukan Malaka pada tahun 1522 -1575, kemudian melakukan aktivitas di Maluku pada tahun 1520an, selanjutnya Portugis terlibat kegiatan di Nusa Tenggara, antara lain daerah Timor, Solor dan Flores. Dilihat dari masa aktivitas dan wilayah kekuasaan, persentuhan Portugis dengan Asia Tenggara tidak terlalu signifikan. Tetapi dari sisi letak , sangat strategis dan mampu menguasai jalan pelayaran maupun perdagangan rempah dan kayu cendana. Bahkan dengan jatuhnya Malaka ketangan Portugis mengakibatkan perlawanan yang hebat dari kerajaan-kerajaa pribumi.
Spanyol datang ke Asia Tenggara dari sebelah sisi timur sejak 1520. Tetapi baru pada tahun 1568 mulai menetap di Cebu dan Panay. Penggunaan jalur timur itu disebabkan pelarangan berlayar melewati Afrika Selatan, sehingga pelayarn harus melalui laut Pasifik. Masalah yang muncul adalah berupa kesulitan ketika akan kembali ke Meksiko. Ada beberapa ekspedisi Spanyol yang gagal karena faktor alam sperti angin dan arus laut yang bertentangan. Tapi setelah menemukan jalan pulang ini ,mereka dapat melakukan hubungan regular antara Philipina dengan Meksiko. Hal itu mengakibatkan Pendudukan Spanyol atas Philipina berhasil. Pada tahun 1571 kota Manila jatuh ke tangan Spanyol, dan diikuti dengan jatuhnya pulau-pulau lain. Zamboanga di Mindanao diduduki pada tahun 1635, khususnya untuk menjadi pangkalan selatan terhadap kekuatan kerajaan- kerajaan Islam di Mindanao dan pulau Sulu. Pada tahun 1876 Spanyol berhasil meduduki Jolo, tetapi lebih dari dua dasawarsa kemudian Spanyol sendiri harus meninggalkan Philipina setelah kalah perang dengan Amerika Serikat.
Kapal – kapal Belanda Memasuki perairan Nusantara pada tahun 1596 dan sejak itu orang Belanda menggunakan loji untuk menjadi pusat usaha perdagangan . kemudian setelah itu Belanda mendirikan VOC sebagai wadah perserikatan dagang di wilayah Asia Tenggara khususnya Nusantara. Mulai sejak itu, usaha perdagangan rempah di monopoli oleh Voc dan hal itu menjadi ancaman yang luar biasa untuk pedagang –pedagang kecil yang beroperasi di wilayah Nusantara. Salah satu penentang keras kebijakan VOC adalah Sultan Hasannudin dari kerajaan Makassar. Tetapi hal itu tidak bertahan lama dikarenakan kekalahan kerajaan – kerajaan pribumi. Mereka sangat timpang dalam hal teknologi dan organisasi.
Sejak abad ke-17 Inggris sudah mencoba untuk melakukan ekspansi ke Asia Tenggara, akan tetapi mendapat pesaing yang sepadan yaitu Belanda. Inggris melalui serikat dagangnya yang bernama East India Company hanya mampu melakukan kegiatan perdagangan di wilayah pantai barat Sumatera dan memilki pusat di Bengkulu (1686 – 1824). Pengaruh dari perang di Eropa antara Inggris dan Spanyol yang berakhir dengan kemenangan Inggris membuka jalan untuk menguasai manila (1762-1764). Kemudian disusul dengan adanya perjanjian Sulu yang memberikan kesempatan untuk Inggris menduduki pulau Balambangan (utara pulau Kalimantan) pada tahun 1773 – 1775. Selanjutnya Inggris mampu menguasai wilayah Penang. Pada tahun 1824 Bengkulu ditukarkan dengan Malaka sebagai salah astu akibat dari trakat London. Dari Malaka inggris mulai melebarkan hegemoninya menuju wilayah kerajaan di semenajung Malaka sebagai penasehat yang berkuasa, berturut-turut di Perak (1874), Selangor (18760, Pahang (1888), Negeri Sembilan (1895). Kemudian disusul oleh Perjanjian dengan Siam yang mengakibatkan Kedah, Perlis, Klenatan, Trengganu kedalam kuasa Inggris. Sebelumnya Inggris telah menyatakan proteksi terhadap Kasultanan Brunei, Sabah, Sarawak. Pulau Labuan juga dikuasai sejak 1846.
Wilayah jajahan Prancis mulai terbentuk pada pertengahan abad ke-19. Jauh Sebelum itu Prancis telah melakukan percobaan dalam hal perdagangan di Asia Tenggara dengan memebentuk Compaigne d’Orient (1642), Compaigne des Indes Orientales (1664), dan Compaigne des Indes (1719), tetapi usaha itu tidak banyak membawa untung. Bukti yang lebih berhasil ditorehkan oleh kaum missionaries Perancis yang mendirikan Societe des Missions Etrabgeres yang pada awal 1680-an menduduki tempat penting dalam istana Thai di Ayuthia. Pengiriman duta dari Siam ke Pransis diadakan.
Kehadiran missionaries Prancis di wilayah Vietnam mengakibatkan banyak pedagang yang tertarik kewilayah ini. Tapi dengan banyaknya kedatangan para pedagang kedaerah Vietnam tersebut mengakibatkan penguasa lokal menentangnya, dan pada akhir abad ke-18 Prancis melihat kesempatan baru sebagai akibat dari perang saudara (pemberontakan Tyson). Selain itu juga terjadi permusuhan dengan Vietnam mulai alas an-alasan keagamaan, tetapi dibalik itu ada keuntungan komersil, memperoleh sebuah pangkalan untuk membuka jalan menuju tiongkok, hal itu mempertinggi kedudukan Prancis yang telah jatuh bersama dengan jatuhnya Napoleon I dan kemudian juga Napoleon III. Tongkin dan Annam dijadikan protektorat, tetapi wilayah kekuasaan resident superieur yang ditemapatkan di Hue dan Hanoi semakin bertambah. Pada Tahubn 1884 semua daerah ini termasuk Kamboja yang telah dibawah kedudukan Prancis , disatukan dalam Uni Indocina Perancis.
Sumber :
A.B Lapian, Manusia dan Kebudayaan di Asia Tenggara, Jakarta : LIPI. 1975
Vickers A, Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara, Bali : Udayana University Press. 2009

KETIKA MATERI (UANG) MEMBUNUH PRESTASI

Uang dalam sepak bola memang bukan segalanya, tetapi uang memiliki pengaruh yang sangat penting.Berkaca dari kesuksesan The Blues Chelsea dikancah kompetisi antar klub di Eropa, terlihat peran penting dari sektor finansial. Lihat saja, pasukan The Romans Emperor itu membutuhkan waktu hampir satu dekade untuk menjuarai liga Champions, setelah klub London Biru itu diakusisi keuangannya oleh Abrahammovic, taipan asal Rusia. Gelontoran Dollar dari kantong sang juragan berimplikasi positif terhadap prestasi tim. Kondisi keuangan yang super power itu, membuat para bintang berlabuh ke Stamford Bridge. Bintang-bintang tersebut antara lain The special one Mourinho, Duo Lampard-Terry, Didier Drogba,sampai bintang AC Milan sekelas Sheva.
Gelar demi gelar pun mampu direngkuh oleh pasukan London Biru baik diajang EPL, FA, maupun Carling. Terakhir setelah hamper satu dekade mengucurkan dana untuk Chelsea, akhirnya gelar bergengsi liga Champions mampu digendong pulang ke London. Itu merupakn gelar pertama dalam sejarah tim London Biru. Sekali lagi uang memiliki pengaruh yang sangat penting untuk menghadirkan prestasi.
Hal sebaliknya dari kondisi Chelsea terjadi di Indonesia. Sebagian Kontestan klub yang bermain di LPI maupun LSI sedang mengalami paceklik finansial. Dari kubu LPI, kita bisa melihat kondisi galau para civitas sepakbola. PSMS dan Persija versi PSSI Djohar mengalami keterlambatan pembagian gaji. Kedua klub tersebut telah menunggak gaji selama lebih dari 3 bulan. Hal senada juga terjadi terhadap mantan kampiun Divisi Utama, Persiba Bantul telah menunggak gaji pemain selama 2 bulan. Gelontoran dana maha besar yang dijanjikan Konsorsium Masyarakat Bola Indonesia tak kunjung mengalir ke kantong klub peserta kompetisi. Padahal dana yang dijanjikan berada dalam kisaran 10-20 Miliar per musim. Efek domino pun dirasakan para kontestan liga dibawah kasta LPI. Kucuran dana sebesar 500 juta permusim yang dijanjikan pada awal kompetisi belum juga cair. Ternyata janji dan optimisisme yang disenandungkan pada awal musim tinggal kenangan. Mimpi buruk yang akan terjadi adalah mandegnya kompetisi pada tengah musim.
Hal yang sama dan serupa bak pinang dibelah dua juga terjadi di kompetisi LSI dibawah naungan PSSI La Nyalla. Kompetisi yang dinaungi oleh PSSI versi Ancol juga mengalami krisis finansial akut. Kompetisi yang meninggalkan APBD untuk membentuk liga yang professional menimbulkan malapetaka bagi sebagian klub-klub yang berlaga di LSI. Klub – klub di bawah naungan PSSI La Nyalla ini kesulitan dalam menarik perhatian sponsor. Hal itu berarti mereka harus siap kolaps karena ketidak tersediaan dana dari sponsor. Lihat saja sepak terjang PSMS Versi LSI yang harus menunggak gaji pemain hingga akhir musim. Klimaksnya adalah ketika Markus Haris Maulana berbindah ke klub dengan nama sama tetapi berlaga dikompetisi yang berbeda, karena hak-haknya sebagai pemain belum dipenuhi. Kemudian PSPS Pekan Baru yang harus rela ditinggal para bintangnya karena masalah serupa. Untung PSSI mampu menutup sebagian kecil kebutuhan klub-klub tersebut lewat dana abadi. Tetapi, hal itu hanya solusi sementara alias darurat. Keadaan tersebut tidak dapat dibebankan terus menerus karena dana abadi bersifat terbatas.
Dari dua kasus dalam dua kompetisi tersebut secara otomatis berkorelasi buruk terhadap kualitas liga. Bagaimana pun keadaannya jika masih seperti ini, para pemain, pelatih, maupun official tim tidak bisa tampil all-out. Mereka harus tetap menjaga asap dapur keluarga terus mengepul. Keadaan seperti ini menimbulkan degradasi kualitas liga. Suasana kompetisi pun kurang kompetitif dan sportif jika para pemain ogah-ogahan dalam bertanding. Implikasi lebih jauh terjadi dalam tataran tim nasional. Tim pelatih akan kesulitan dalam memilih para pemain terbaiknya. Hal tersebut selain disebabkan oleh dulaisme liga, juga disebabkan oleh kompetisi yang kompetitif.
Kita ibaratkan bahwa hubungan PSSI dan klub yang benaung dibawahnya sebagai hubungan orang tua dan anak. Sudah selayaknya orang tua memenuhi segala kebutuhan anaknya untuk berprestasi. Bukan malah memberikan janji palsu dan iming-iming belaka tanpa memenuhinya. PSSI versi Djohar maupun La Nyalla malah akan menjadi orang tua yang durhaka karena telah menelantarkan klub- klub yang dinaunginya. Harusnya mereka segera sadar bahwa rekonsiliasi adalah jalan terbaik bak rekonsiliasi Raja Kasunanan Solo yang telah terlaksana menjadi sebuh dwi tunggal yang kuat. Masalah intern keluarga kerajaan tersebut mampu terselesaikan setelah adanya dualisme kepemimpinan. Sudah selayaknya PSSI belajar dari persitiwa sejarah ini.
PSSI belajarlah dari Chelsea yang belum lama ini menjuarai kompetisi terelit tim-tim terbaik di Benua Biru. Chelsea mampu berprestasi karena gelontoran dollar dari sang boss asal Rusia dan tim pelatih yang sangat solid dibawah naungan caretaker asal Italia, Roberto Di Matteo. Begitu juga PSSI, jika ingin berprestasi lebih dan menyelamatkan sepak bola Indonesia dari fase kemunduran ini maka rekonsiliasi adalah jalan yang harus ditempuh. Kalau tidak, bakal ada banyak klub di kompetisi LSI maupun LPI yang akan madeg ditengah jalan seperti halnya PS Bengkulu. Madegnya klub dan Kompetisi merupakan sinyal kematian untuk prestasi tim nasional Indonesia.
Tapi para penikmat sepak bola Indonesia yakin bahwa cahaya itu masih ada. Perbaikan Kompetisi masih bisa. Prestasi yang diharapkan masih tercipta. Semoga hal itu bukan fana.

BERKAH DITENGAH PRAHARA PSSI

Ditengah permasalahan yang pelik pasti ada nilai-nilai positif yang dapat dipetik”
-Anonim
Pernyataan diatas adalah sebuah wujud optimisme dalam menghadapi masalah. Semoga para petinggi otoritas sepakbola di Indonesia menyadari itu. Rakyat menjadi jenuh ketika benang kusut kekisruhan PSSI ini tak kunjung terurai. Sudah berbulan-bulan polemik ini berjalan. Titik terang belum juga nampak kepermukaan.
Awal prahara ini berawal dari kekalutan rezim Nurdin Halid dalam membawahi organisasi yang mengurusi sepakbola di Indonesia ini. Mungkin jika rezim tersebut lebih bijak dalam menghadapi kemauan masyarakat, pasti polemik seperti ini tidak akan terjadi. Ketika rezim Nurdin Halid runtuh, angin segar berhembus. Harapan sepakbola Indonesia akan lebih baik mencuat kepermukaan. Beban itu kemudian diterima oleh Djohar Arifin cs yang diangkat melalui kongres Solo. Seiring berjalannya waktu maneuver-manuver dari Djohan Arifin Cs mendapat penentangan dari masyarakat.Setelah itu timbul suara-suara sumbang yang ingin menjatuhkan kepemimpinan Djohar Arifin. Kelompok Penyelamat Sepakbola Indonesia muncul sebagai puncak ketidakpuasaan terhadap PSSI yang berkuasa, maka lahirlah PSSI versi Ancol. Dualisme kepengurusan ini menimbulkan wacana mengenai sangsi FIFA terhadap sepakbola Indonesia.
Dari semua polemik yang telah membelenggu PSSI itu menghadirkan kritik-kritik terhadap PSSI mengalir deras. Kepeduliaan berbagai elemen masyarakat terhadap PSSI semakin menguat.PSSI menyita perhatian masyarakat Indonesia. Namun ditengah masalah yang pelik yang membelenggu PSSI, ada nilai-nilai positif yang dapat dipetik. Nilai-nilai tersebut antara lain : Berkah bahwa di Indonesia melimpah sumberdaya manusia yang ingin memajukan sepakbola Indonesia, Berkah dua kompetisi yang berjalan beriringan akan memudahkan PSSI membentuk timnas yang tangguh, dan yang terakhir adalah berkah hukuman FIFA semoga segera terwujud.
Melihat perjalanan polemik sepakbola Indonesia yang telah mencuat lama, terlihat bahwa banyak para insan sepakbola Indonesia yang sangat peduli dengan sepakbola Indonesia, Buktinya para petinggi yang sangat peduli dengan sepakbola Indonesia berebut untuk membuat sepakbola Indonesia menjadi lebih baik. Mereka mencurahkan waktu, energi, dan materi untuk sepakbola Indonesia yang lebih baik. Andaikan saja mereka bersatu, pasti PSSI memiliki kekauatan besar dalam memperbaiki sepakbola Indonesia. Curahan waktu, energi dan tentunya materi akan membentuk iklim kompetisi maupun pembinaan bibit-bibit muda Indonesia menjadi semakin kuat. Bayangkan saja jika PSSI versi Solo dan PSSI versi Ancol bersatu, pasti sepakbola Indonesia akan menjadi lebih baik.
Dualisme kompetisi antara ISL dan IPL harus disikapi secara positif juga. Penyikapan secara positif akan berimplikasi baik terhadap pembentukan timnas yang kuat. Bukankah cita-cita tertinggi pesepakbola adalah membela negaranya dalam berbagai ajang? .Jika hal ini terjadi pastilah timnas Indonesia akan semakin kuat. Pelatih bisa memilih dengan leluasa para pemain terbaik di tanah air dari kedua kompetisi tersebut. Persaingan untuk mengenakan jersey garuda di dada akan semakin ketat, dan implikasinya akan berimbas pada kerangka timnas yang bagus.Brasil yang merupakan negara dengan dualism kompetisi buktinya mampu berbicara banyak dilevel dunia. Mengapa kita tidak belajar dari Brasil yang memiliki dualisme kompetisi? Bukan malah ada oknum klub tertentu melarang pemainnya untuk membela timnas. Lagi-lagi ini hanya menjadi sebuah pengandaian yang belum tentu terwujud.
Berkah yang ketiga adalah sanksi FIFA. Kondisi sepakbola Indonesia yang karut marut ini mengakibatkan wacana tentang sanksi FIFA. Sangat kecil kemungkinan yang ada untuk Indonesia agar tidak diberi sanksi. Hal itu dikarenakan FIFA telah sejak lama memberikan toleransi kepada PSSI agar membenahi dualisme yang ada. Kenapa sanksi FIFA menjadi anugerah dan berkah? Dengan diberikan sanksi terhadap Indonesia maka secara otomatis para petinggi PSSI kedua versi itu sadar. Kesadaran itu niscaya akan membuat rekonsiliasi berjalan dengan baik.
Ketika sanksi itu diberlakukan maka PSSI dapa membenahi elemen-elemen dalam sepakbola Indonesia. Pembenahan yang pertama adalah dalam system kepengurusan. Hal ini menjadi utama karena awal dalam membentuk iklim sepakbola yang baik berawal dari sini. Pembenahan yang kedua adalah dalam system pembinaan usia muda. Bukankah pemain-pemain yang membela timnas juga pernah mengalami usia muda dalam bermain sepakbola. Prestasi menjadi hal yang tidak bisa dipaksakan secara instan. Kita bisa berkaca dari Spanyol yang kini menguasai sepakbola dunia baik di tingkat negara maupun klub. Tingkat Negara, Spanyol mampu menjuarai Euro dan Piala dunia secara kronologis. Spanyol melakukan itu dengan pembinaan pemain muda yang terkoordinir dengan baik. Pembenahan yang ketiga adalah pada tataran kompetisi. Kompetisi menjadi salah satu elemen penting dalam perkembangan pemain. Kompetisi yang sehat dan ketat akan menghasilkan pemain-pemain handal untuk membela timnas. Pembenahan terakhir adalah dibidang infrastruktur yaitu stadium dan perlengkapan latihan yang memadai akan membentuk Indonesia sebagai negara kuat dalam sepakbola dunia.
Semoga Berkah dalam praharai PSSI ini benar-benar terwujud sehingga sepakbola Indonesia akan menjadi lebih baik dan mampu berprestasi dalam tataran Internasional. Bukankah selama PSSI di belakangnya ada huruf I yang merupakan representasi dari Indonesia , PSSI masih milik rakyat Indonesia.

ULANG TAHUN PSSI, SUKARNO, DAN ENDANG WITARSAH….

Sudah menjadi hal yang biasa , lumrah,dan wajar ketika para penikmat, pemerhati, pancinta bahkan praktisi sepakbola Indonesia mengeluarkan uneg-uneg kebosanannya terhadap PSSI. Manuver para petinggi PSSI (baik PSSI versi Solo maupun Ancol) kian sembarangan dan semrawut. Sama-sama tak mau kalah dan merasa paling sah untuk membawahi organisasi sepakbola ini. Saya pun serupa dengan para peniikmat sepakbola di Indonesia, saya pun merasa sangat letih dan sakit hati sebagai warga Negara Indonesia, celakanya lagi muncul rasa hopeless, tanpa secercah harapan. Publikpun tak ragu untuk mengutuki para pemangku olahraga sepakbola ini (baik versi Solo maupun versi Ancol) sebagai teater konyol yang tanpa klimaks. Sebenarnya kalau mereka mau peka dengan membuka mata lebar-lebar dan memasang telinga pada tempatnya, terlalu banyak harapan masyarakat kepada orang-orang yang mengaku ingin memajukan persepakbolaan Indonesia.Coba saja kumpulkan opini masyarakat yang berada di rubrik – rubrik Tabloid Bola, dan serahkan pada para petinggi sepakbola Indonesia biar mereka sadar.
Sebenarnya awal karut marut benang kusut sepakbola Indonesia berawal dari dinastinya Nurdin Khalid. Terlihat Nurdin Cs belajar dari filsuf terkenal Machiavelli, belajar mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Toh akhirnya rubuh juga karena kongres Solo, nafas baru di hembuskan, semangat baru digelorakan oleh dinasti pengganti dibawah naungan Djohar Arifin Cs, dan lagi-lagi geliat ketidakpuasan memuncak maka PSSI pun jadi dua seperti naga bonar jadi dua. Yang unik lagi timnaspun jadi dua, super sekali bukan ? bayangkan saja pada sebuah pertandingan antar negara, Indonesia diwakili dua tim nasional. Terus bagaimana ketentuan cara bermainnya? Aneh bin ajaib. Memang benar pernyataan Jose Mourinho “ Sisi negatif sepakbola adalah sisi negatif masyarakatnya. Orang perorang membawa pengaruh negatifnya kedalam masyarakat melalui sepakbola “ dan pernyataan Jose Mourinho berlaku untuk karut marut benang kusut sepakbola Indonesia.
Kalau mendiskusikan kelemahan kelemahan sistem sepakbola Indonesia tidak akn ada habisnya, lebih baik kita melakukan refleksi di bulan April nan sakral dan penuh momentum ini. Ada apa dengan bulan April? Tidakkah ini sperti bulan-bulan biasa semisal Januari, Februari dan sebagainya? Oh tidak, 82 tahun yang lalu ketika Indonesia masih dalam bentuk yang samar-samar , PSSI ini sudah berdiri tegak di Yogyakarta. Bayangkan organisasi sepak bola ini sudah lahir lebih dahulu daripada pemerintah negeri ini. Istimewa bukan?
Memang sejak awal didirikan PSSI, unsur politik dan kepentingan sudah tertuang nan kental. Awalnya PSSI merupakan organisasi tandingan untuk melawan organisasi sepakbola bentukan pemerintah Hindia Belanda. Tepatnya 19 April di kota Yogyakarta PSSI berdiri. Sepakbola pada masa itu digunkan sebagai media propaganda yang laris manis, terbukti pendiri Republik ini, Sukarno meggunakan olahraga ini untuk mengelorakan semangat nasionalisme.
Yah, melihat perkembangan dinamika PSSI skerang ini, terlihat tidak adanya sosok yang kuat sekuat Sukarno, dengan jargonnya yang begitu popular “don’t leave history”, beliau meggelorakan revolusi dalam dunia olahraga, bayangkan saja terobosan terbosannya dalam penciptaan Istora senayan yang hingga detik ini masih menjadi pusat penyelenggaraan aktivitas olahraga-termasuk sepakbola. Jika mungin sang bapak berreinkarnasi dan abadi hingga sekarang karut marut PSSI tak akan meluas seperti ini. Untuk sosok yang kedua, kita juga perlu mengenang dan menjadikan beliau sebagai sumber Inspirasi. Beliau adalah Bapak Endang witarsah (Liem Soen Joe) yang wafat pada 2 April 2008, yah lagi-lagi April merupakan bulan yang
pas untuk melakukan introspeksi pemerhati sepakbola Indonesia. Endang witarsah sampai akhir hayatnya mendedikasikan hidupnya untuk sepakbola Indonesia. Bayangkan saja, beliau menolak bergabung dengan PSSInya Hindia Belanda demi merah putih. Orang yang langka untuk masa sekarang. Seorang keturunan Cina yang begitu mencintai Indonesia.
Harusnya momentum April ini menjadi titik balik bagi para petinggi sepakbola Indonesia untuk menyudahi polemik yang begitu panjang dan sangat mebosankan ini. Lihatlah masa lalu, lihatlah mereka yang telah mededikasikan semuanya untuk sepakbola Indonesia, lihatlah mereka yang cari makan dari sepakbola, mereka butuh kejelasan dan kenyamanan. Dan yang terakhir lihatlah kami, bapak-bapak, kami pencinta sepakbola Indonesia, kami rindu prestasi bukan untuk dijejali panggung sandiwara yang sangat berantakan.
Selamat ulang tahun PSSI-ku, PSSI kami, PSSI milik warga Negara Indonesia, bukan milik anda para segelintir orang yang gemar bermanuver ria. Kami optimis cahaya itu masih ada dan nyata!!!!

MISI SUCI SANG GARUDA !

Sejenak lupakan geger sepak bola nasional yang telah berlangsung berbulan-bulan. Ya, sejak dinasti Nurdin Halid mengalami masa pageblug dengan tuntutan untuk mundur dari kursi nomor satu kerajaan PSSI. Geger sepak bola nasional terus menerus menggelinding bak bola salju. Semakin lama geger sepak bola nasional semakin membesar dan semarwut. Naiknya sang caretaker sekelas Djohar Arifin, tidak membuat situasi semakin membaik. Angin kesegaran berhembus singkat saja. Kemudian berganti badai topan maha dahsyat, ketika kebijakan yang dikeluarkan sang caretaker hasil KLB Solo ini dianggap sangat tidak popular bagi sepak bola Indonesia. Hal itu terlihat dari inkonsistensi Djohar Cs sejak awal kepemimpinannya. Nah, dari kebijakan-kebijakan yang sangat tidak popular itu, menimbulkan reaksi keras dari kubu yang berseberangan. Kubu tersebut mengutamakan KPSI dan membentuk PSSI tandingan ala Ancol. Problem turunannya timnaspun terbelah menjadi dua biji.
Carut marut persepakbolaan Indonesia seakan tidak selesai, bagai film tanpa akhir sehingga mebuat bosan para pecinta sepakbola nasional. Mari kita bergeser dan meberikan apresiasi bagi Timnas yang sedang berjuang begitu keras di Palestina dalam Turnamen Al- Nakbah. Memang turnamen ini tidak dalam koridor kalender FIFA. Namun, setidaknya ini merupakan obat kerinduan bagi para pecinta sepakbola Indonesia yang telah lama tidak menikmati timnas garuda berlaga dalam sebuah turnamen. Masih ingatkah dengan gelaran AFF, yang begitu sangat sepektakuler pada akhir tahun 2010 di Jakarta ?. Terlihat bagaimana nasionalisme masyarakat Indonesia dalam mendukung timnas. Kemudian dilanjutkan dengan eforia Sea Games yang berlansung setahun kemudian. Antusias supporter juga begitu maha dahsyat . Apalagi ketika Brunei menjadi merah putih saat timnas berlaga di Hasanal Bolkiah Trophy. Walaupun ketiga dari kletiga turnamen itu Indonesia menjadi tim spesialis juara dua, tapi lihatlah apresiasi supporter Indonesia yang sangat fanatik baik di dalam maupun diluar negeri.
Dilihat dari fungsinya sebuah turnamen sepakbola baik itu dalam koridor kelender FIFA maupun bukan adalah memberikan sebuah eksistensi sepakbola nasional di mata dunia. Turnamen Al-Nakbah wajib dijadikan sebuah momentum untuk menjaga eksitensi sepakbola Indonesia baik di dalam negeri maupun dimata dunia. Dalam perjalanan sejarah negeri ini ,hubungan baik Palestina dengan Indonesia telah tersaji begitu mesra bak sepasang kekasih. Hal itu dimulai denga pengakuan kemerdekaan masing-masing negara. Ketika 2011 timnas Palestina mau mengunjungi Indonesia ketika di undang ke Solo guna latih tanding melawan Indonesia. Hasilnya Indonesia menang telak 4-1. Kini, ketika Palestina mengundang Indonesia untuk mengikuti turnamen Al-Nakbah harus dijadikan sebagai sebuah misi suci demi sepakbola Indonesia.
Misi suci yang pertama adalah mejaga hubungan bilateral kedua negara. Dari sisi historis, Indonesia memiliki hubungan yang sangat baik. Selain saling mengakui kemerdekaan kedua negara, Indonesia pernah mengirimkan pasukan Garuda untuk mebantu meredakan konflik di Timur Tengah pada periode 1970an. Maka ketika undangan untuk mengikuti turnamen Al-Nakbah dalam rangka memperingati Nakba Day, sebuah hari dimana bencana menghinggapi bangsa Palestina pada tahun 1948 wajib disambut baik oleh PSSI. Dalam hal ini sepak bola bagaikan pengikat tali silahturami kedua negara.
Untuk misi suci yang kedua turnamen ini harus digunakan sebagai wahana untuk mewujudkan eksistensi sepakbola Indonesia di mata dunia walaupun dalam balutan kisruh intern PSSI. Setidaknya apapun hasil yang diraih timnas Indonesia, eksitensi sepakbola Indoesia masih terjaga dengan sangat baik walaupun sedang sakit dibagian dalam. Harkat martabat bangsa Indoesia pun mampu akan terangkat jika mampu menjuarai turnamen ini. Suara-suara sumbang dari dalam akan sedikit mengendur. Semoga saja !
Misi suci yang ketiga akan terselesaikan dengan baik jika timnas mampu berbicara banyak dalam turnamen ini. Dalam hal ini berbicara banyak bukan berarti harus menjuarainya. Berbicara banyak adalah dengan mampu mengembalikan gairah dan atmosfer para supporter Indonesia dalam menikmati kompetisi nasional maupun internasional. Saya yakin jika Indonesia mampu berbicara banyak dalam turnamen ini, laga timnas di dalam negeri akan kembali dipenuhi para supporter Indonesia. Keuntungan turunan yang merupak implikasinya adalah ramainya stadion ketika klub-klub lokal bermain dalam kompetisi ISL maupun IPL. Ya, sekali lagi sebuah tuirnamen yang diikuti timas Indonesia mampu menghidupkan gairah para pendukung yang belakangan ini sedang mengalami fase lesu.
Rekonsiliasi dan meleburnya dualism PSSI menjadi misi yang keempat timnas garuda di bumi Palestina. Sebelumnya dalam pembentukan kerangka timnas yang akan dibawa telah menunjukan sinyal yang sangat positif. Hal itu ditunjukan dengan bergabungnya Titus Bonai dan Oktavianus Maniani yang notabene pemain dari klub ISL (persipura dan Persiram). Bergabungnya kedua bintang itu menjadi angin segar bagi iklim persepakbolaan di Indonesia. Apapun hasil yang diraih dari turnamen ini setidaknya ada grafik positif yang sedang dialami sepakbola Indonesia yan sudah lama mengalami fase geger .
Untuk misi suci yang terakhir dan menjadi misi pemungkas adalah mendekatnya para sponsorship kedalam atmosfer sepakbola Indonesia, baik IPL maupaun ISL. Denagan adanya turnamen Al Nakbah eksistensi Indonesia dalam hal sepakbola kian terjaga. Sehingga para sponsor tidak takut untuk cawe-cawe dalam mendanai kompetisi di Indonesia. Bukan rahasia lagi jika klub-klub di Indonesia baik IPL maupun ISL sedang menagalami krisis finasial yang sangat akaut. Sebagai contohnya PSMS versi ISL yang menunggak gaji pemain hingga akhir tahun. Semoga dengan hadirnya geliat timnas di Palestina, para sponsor akan dengan tidak ragu-ragu member kucuran dana dalam kompetisi yang terselenggara di Indonesia.
Kelima misi suci itu sedang di emban oleh para ksatria merah putih kita. Semoga sepakbola Indonesia semakin baik dengan adanya momentum Al-Nakbah ini. Bravo sepakbola Indonesia. Terakhir sedikit menguti pernyataan Bambang Pamungkas dalam bukunya Ketika Jemariku Menari : One Faith, One Flag, One Mission, One Heart, and One love for Indonesia .