Entah
sudah berapa lama liga Indonesia telah usai. Yang jelas hal itu telah
membuat rindu para pecinta sepakbola Indonesia, supporter tim ,
maupun para pemain yang terbiasa menikmati persaingan ketat di
lapangan. Kerinduan yang “menggebu” ini ternyata telah dilirik
oleh stasiun televise swasta untuk menyiarkan ulang
pertandingan-pertandingan seru ISL. Ya sejenak hal itu bisa
mengobati sebuah rasa rindu. Ibarat pacaran para pecinta sepakbola
Indonesia sedang bernostaliga menikmati pertandingan demi
pertandingan yang tersaji di musim kemarin. Tapi, bukankah hal itu
miris sekali?
Sistem
kompetisi di Indonesia yang “acakdul” dan kadang sering gegabah
dalam menentukan periode sebuah liga bergulir mengakibatkan sepakbola
Indonesia terasa belum professional. Jadwal kapan saja bisa berubah
sesuai kondisi yang sedang hangat disekitar lingkungan sepakbola.
Salah satu contoh adalah ketika sebuah kota atau daerah sedang
memiliki hajat Pemilukada. Seperti yang dirasakan Persija ISL musim
kemarin. Mereka harus berpindah-pindah dari satu stadion ke stadion
lainnya karena untuk sementara tidak boleh bermain di Jakarta.
Jika
kita berkaca dari kompetisi elit di benua Eropa seprti liga Inggris,
liga Italia, Spanyol dan lain-lain hal itu sungguh sangat
kontradiktif. Liga – liga di Eropa memiliki jadwal kompetisi yang
teratur dan professional. Bahkan jadwal musim berikutnya telah bisa
diketahui saat satu musim sebelumnya . Hal itu berdampak positif
dalam menejemen tim, khususnya dalam bidan pengurusan finansial tim.
Mereka (liga-liga Eropa) mampu membuat tim peserta kompetisi merasa
nyaman dalam hal menejemen pengelolaan finasial. Tim-tim tersebut
paham kapan harus mengontrak pemain, dan kapan harus melepasnya.
Hal
tersebut berbeda sekali dengan kondisi liga Indoensia. Jadwal yang
tidak jelas dan cenderung terkesan simpang siur mengakibatkan
tim-tim kebingungan dalam hal mengontark pemain. Dengan kondisi
finasial yang angin-anginan karena kesulitan dalam mendatangkan
sponsor, maka tim-tim di Indonesia hanya berani memberikan kontrak
jangka pendek. Antara satu hingga dua tahun.
PSSI
harusnya membuat sebuah jadwal kompetisi yang memiliki sinkronisasi
yang baik dengan agenda dan kegiatan AFF maupun AFC. Sehingga
tercipta sebuah kondisi yang harmonis. Bukan malah seperti sekarang.
Agenda AFF Cup secara langsung maupun tidak langsung telah membuat
kompetisi sepakbola di Indoensia mati suri. Hal itu dikarenakan jeda
kompetisi yang begitu sangat lama. Hal ini juga berefek negatif
terhadap pesepakbola kelas menengah yang menggantungkan hidupnya dari
kompetisi liga Indonesia. Dengan kondisi tidak adanya tim yang
mengontrak si pemain. Mau tak mau pemain harus mencari pekerjaan lain
untuk mengidupi keluarganya.
Dalam
kondisi seperti ini, tidak ada salahnya kita berromantisme dengan
masa lalu. Di saat era kepemimpinan Soekarno. Soekarno memiliki
konsistensi dalam membangun iklim sepakbola yang kompetitif di
Indonesia. Pada masa Orde Lama, Soekarno benar-benar menaruh
perhatian yang besar kepada sepakbola Indonesia. Untuk sekarang,
sosok pemimpin bangsa ini rasa-rasanya kurang menaruh perhatian
terhadap sepakbola Indonesia. Padahal Sepakbola merupakan olahraga
yang dimana harga diri sebuah negara dipertaruhkan.
Melihat
kejadian ketika ketua PSSInya Senegal mengundurkan diri pasca
kericuhan pertandinagan Senegal Vs Pantai gaduing diajang pra World
Cup 2014. Pemimpin PSSI di Indonesia maupun presiden agaknya perlu
belajar bagaimana penerapan sebuah tanggung jawab. Setidaknya untul
saling legowo dan menyatukan pikiran dan tenaga untuk membangun
sepakbola Indonesia.
Rakyat
Indonesia telah rindu aktraksi para seniman sepakbola di
stadion-tadion yang berada diseluruh kota di Indonesi. Rindu
menghangatkan bangku tribun stadion. Rindu bernyanyi yel-yel yang
unik. Rindu sepakbola Indonesia.