Selasa, 19 Februari 2013

KETIKA MATERI (UANG) MEMBUNUH PRESTASI

Uang dalam sepak bola memang bukan segalanya, tetapi uang memiliki pengaruh yang sangat penting.Berkaca dari kesuksesan The Blues Chelsea dikancah kompetisi antar klub di Eropa, terlihat peran penting dari sektor finansial. Lihat saja, pasukan The Romans Emperor itu membutuhkan waktu hampir satu dekade untuk menjuarai liga Champions, setelah klub London Biru itu diakusisi keuangannya oleh Abrahammovic, taipan asal Rusia. Gelontoran Dollar dari kantong sang juragan berimplikasi positif terhadap prestasi tim. Kondisi keuangan yang super power itu, membuat para bintang berlabuh ke Stamford Bridge. Bintang-bintang tersebut antara lain The special one Mourinho, Duo Lampard-Terry, Didier Drogba,sampai bintang AC Milan sekelas Sheva.
Gelar demi gelar pun mampu direngkuh oleh pasukan London Biru baik diajang EPL, FA, maupun Carling. Terakhir setelah hamper satu dekade mengucurkan dana untuk Chelsea, akhirnya gelar bergengsi liga Champions mampu digendong pulang ke London. Itu merupakn gelar pertama dalam sejarah tim London Biru. Sekali lagi uang memiliki pengaruh yang sangat penting untuk menghadirkan prestasi.
Hal sebaliknya dari kondisi Chelsea terjadi di Indonesia. Sebagian Kontestan klub yang bermain di LPI maupun LSI sedang mengalami paceklik finansial. Dari kubu LPI, kita bisa melihat kondisi galau para civitas sepakbola. PSMS dan Persija versi PSSI Djohar mengalami keterlambatan pembagian gaji. Kedua klub tersebut telah menunggak gaji selama lebih dari 3 bulan. Hal senada juga terjadi terhadap mantan kampiun Divisi Utama, Persiba Bantul telah menunggak gaji pemain selama 2 bulan. Gelontoran dana maha besar yang dijanjikan Konsorsium Masyarakat Bola Indonesia tak kunjung mengalir ke kantong klub peserta kompetisi. Padahal dana yang dijanjikan berada dalam kisaran 10-20 Miliar per musim. Efek domino pun dirasakan para kontestan liga dibawah kasta LPI. Kucuran dana sebesar 500 juta permusim yang dijanjikan pada awal kompetisi belum juga cair. Ternyata janji dan optimisisme yang disenandungkan pada awal musim tinggal kenangan. Mimpi buruk yang akan terjadi adalah mandegnya kompetisi pada tengah musim.
Hal yang sama dan serupa bak pinang dibelah dua juga terjadi di kompetisi LSI dibawah naungan PSSI La Nyalla. Kompetisi yang dinaungi oleh PSSI versi Ancol juga mengalami krisis finansial akut. Kompetisi yang meninggalkan APBD untuk membentuk liga yang professional menimbulkan malapetaka bagi sebagian klub-klub yang berlaga di LSI. Klub – klub di bawah naungan PSSI La Nyalla ini kesulitan dalam menarik perhatian sponsor. Hal itu berarti mereka harus siap kolaps karena ketidak tersediaan dana dari sponsor. Lihat saja sepak terjang PSMS Versi LSI yang harus menunggak gaji pemain hingga akhir musim. Klimaksnya adalah ketika Markus Haris Maulana berbindah ke klub dengan nama sama tetapi berlaga dikompetisi yang berbeda, karena hak-haknya sebagai pemain belum dipenuhi. Kemudian PSPS Pekan Baru yang harus rela ditinggal para bintangnya karena masalah serupa. Untung PSSI mampu menutup sebagian kecil kebutuhan klub-klub tersebut lewat dana abadi. Tetapi, hal itu hanya solusi sementara alias darurat. Keadaan tersebut tidak dapat dibebankan terus menerus karena dana abadi bersifat terbatas.
Dari dua kasus dalam dua kompetisi tersebut secara otomatis berkorelasi buruk terhadap kualitas liga. Bagaimana pun keadaannya jika masih seperti ini, para pemain, pelatih, maupun official tim tidak bisa tampil all-out. Mereka harus tetap menjaga asap dapur keluarga terus mengepul. Keadaan seperti ini menimbulkan degradasi kualitas liga. Suasana kompetisi pun kurang kompetitif dan sportif jika para pemain ogah-ogahan dalam bertanding. Implikasi lebih jauh terjadi dalam tataran tim nasional. Tim pelatih akan kesulitan dalam memilih para pemain terbaiknya. Hal tersebut selain disebabkan oleh dulaisme liga, juga disebabkan oleh kompetisi yang kompetitif.
Kita ibaratkan bahwa hubungan PSSI dan klub yang benaung dibawahnya sebagai hubungan orang tua dan anak. Sudah selayaknya orang tua memenuhi segala kebutuhan anaknya untuk berprestasi. Bukan malah memberikan janji palsu dan iming-iming belaka tanpa memenuhinya. PSSI versi Djohar maupun La Nyalla malah akan menjadi orang tua yang durhaka karena telah menelantarkan klub- klub yang dinaunginya. Harusnya mereka segera sadar bahwa rekonsiliasi adalah jalan terbaik bak rekonsiliasi Raja Kasunanan Solo yang telah terlaksana menjadi sebuh dwi tunggal yang kuat. Masalah intern keluarga kerajaan tersebut mampu terselesaikan setelah adanya dualisme kepemimpinan. Sudah selayaknya PSSI belajar dari persitiwa sejarah ini.
PSSI belajarlah dari Chelsea yang belum lama ini menjuarai kompetisi terelit tim-tim terbaik di Benua Biru. Chelsea mampu berprestasi karena gelontoran dollar dari sang boss asal Rusia dan tim pelatih yang sangat solid dibawah naungan caretaker asal Italia, Roberto Di Matteo. Begitu juga PSSI, jika ingin berprestasi lebih dan menyelamatkan sepak bola Indonesia dari fase kemunduran ini maka rekonsiliasi adalah jalan yang harus ditempuh. Kalau tidak, bakal ada banyak klub di kompetisi LSI maupun LPI yang akan madeg ditengah jalan seperti halnya PS Bengkulu. Madegnya klub dan Kompetisi merupakan sinyal kematian untuk prestasi tim nasional Indonesia.
Tapi para penikmat sepak bola Indonesia yakin bahwa cahaya itu masih ada. Perbaikan Kompetisi masih bisa. Prestasi yang diharapkan masih tercipta. Semoga hal itu bukan fana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar