Uang
dalam sepak bola memang bukan segalanya, tetapi uang memiliki
pengaruh yang sangat penting.Berkaca dari kesuksesan The Blues
Chelsea dikancah kompetisi antar klub di Eropa, terlihat peran
penting dari sektor finansial. Lihat saja, pasukan The Romans Emperor
itu membutuhkan waktu hampir satu dekade untuk menjuarai liga
Champions, setelah klub London Biru itu diakusisi keuangannya oleh
Abrahammovic, taipan asal Rusia. Gelontoran Dollar dari kantong sang
juragan berimplikasi positif terhadap prestasi tim. Kondisi keuangan
yang super power itu, membuat para bintang berlabuh ke Stamford
Bridge. Bintang-bintang tersebut antara lain The special one
Mourinho, Duo Lampard-Terry, Didier Drogba,sampai bintang AC Milan
sekelas Sheva.
Gelar demi gelar
pun mampu direngkuh oleh pasukan London Biru baik diajang EPL, FA,
maupun Carling. Terakhir setelah hamper satu dekade mengucurkan dana
untuk Chelsea, akhirnya gelar bergengsi liga Champions mampu
digendong pulang ke London. Itu merupakn gelar pertama dalam sejarah
tim London Biru. Sekali lagi uang memiliki pengaruh yang sangat
penting untuk menghadirkan prestasi.
Hal sebaliknya dari
kondisi Chelsea terjadi di Indonesia. Sebagian Kontestan klub yang
bermain di LPI maupun LSI sedang mengalami paceklik finansial.
Dari kubu LPI, kita bisa melihat kondisi galau para civitas
sepakbola. PSMS dan Persija versi PSSI Djohar mengalami keterlambatan
pembagian gaji. Kedua klub tersebut telah menunggak gaji selama lebih
dari 3 bulan. Hal senada juga terjadi terhadap mantan kampiun Divisi
Utama, Persiba Bantul telah menunggak gaji pemain selama 2 bulan.
Gelontoran dana maha besar yang dijanjikan Konsorsium Masyarakat Bola
Indonesia tak kunjung mengalir ke kantong klub peserta kompetisi.
Padahal dana yang dijanjikan berada dalam kisaran 10-20 Miliar per
musim. Efek domino pun dirasakan para kontestan liga dibawah kasta
LPI. Kucuran dana sebesar 500 juta permusim yang dijanjikan pada awal
kompetisi belum juga cair. Ternyata janji dan optimisisme yang
disenandungkan pada awal musim tinggal kenangan. Mimpi buruk yang
akan terjadi adalah mandegnya kompetisi pada tengah musim.
Hal yang sama dan
serupa bak pinang dibelah dua juga terjadi di kompetisi LSI dibawah
naungan PSSI La Nyalla. Kompetisi yang dinaungi oleh PSSI versi Ancol
juga mengalami krisis finansial akut. Kompetisi yang meninggalkan
APBD untuk membentuk liga yang professional menimbulkan malapetaka
bagi sebagian klub-klub yang berlaga di LSI. Klub – klub di bawah
naungan PSSI La Nyalla ini kesulitan dalam menarik perhatian sponsor.
Hal itu berarti mereka harus siap kolaps karena ketidak tersediaan
dana dari sponsor. Lihat saja sepak terjang PSMS Versi LSI yang harus
menunggak gaji pemain hingga akhir musim. Klimaksnya adalah ketika
Markus Haris Maulana berbindah ke klub dengan nama sama tetapi
berlaga dikompetisi yang berbeda, karena hak-haknya sebagai pemain
belum dipenuhi. Kemudian PSPS Pekan Baru yang harus rela ditinggal
para bintangnya karena masalah serupa. Untung PSSI mampu menutup
sebagian kecil kebutuhan klub-klub tersebut lewat dana abadi. Tetapi,
hal itu hanya solusi sementara alias darurat. Keadaan tersebut tidak
dapat dibebankan terus menerus karena dana abadi bersifat terbatas.
Dari dua kasus dalam
dua kompetisi tersebut secara otomatis berkorelasi buruk terhadap
kualitas liga. Bagaimana pun keadaannya jika masih seperti ini, para
pemain, pelatih, maupun official tim tidak bisa tampil all-out.
Mereka harus tetap menjaga asap dapur keluarga terus mengepul.
Keadaan seperti ini menimbulkan degradasi kualitas liga. Suasana
kompetisi pun kurang kompetitif dan sportif jika para pemain
ogah-ogahan dalam bertanding. Implikasi lebih jauh terjadi dalam
tataran tim nasional. Tim pelatih akan kesulitan dalam memilih para
pemain terbaiknya. Hal tersebut selain disebabkan oleh dulaisme liga,
juga disebabkan oleh kompetisi yang kompetitif.
Kita ibaratkan bahwa
hubungan PSSI dan klub yang benaung dibawahnya sebagai hubungan orang
tua dan anak. Sudah selayaknya orang tua memenuhi segala kebutuhan
anaknya untuk berprestasi. Bukan malah memberikan janji palsu dan
iming-iming belaka tanpa memenuhinya. PSSI versi Djohar maupun La
Nyalla malah akan menjadi orang tua yang durhaka karena telah
menelantarkan klub- klub yang dinaunginya. Harusnya mereka segera
sadar bahwa rekonsiliasi adalah jalan terbaik bak rekonsiliasi Raja
Kasunanan Solo yang telah terlaksana menjadi sebuh dwi tunggal yang
kuat. Masalah intern keluarga kerajaan tersebut mampu terselesaikan
setelah adanya dualisme kepemimpinan. Sudah selayaknya PSSI belajar
dari persitiwa sejarah ini.
PSSI belajarlah dari
Chelsea yang belum lama ini menjuarai kompetisi terelit tim-tim
terbaik di Benua Biru. Chelsea mampu berprestasi karena gelontoran
dollar dari sang boss asal Rusia dan tim pelatih yang sangat solid
dibawah naungan caretaker asal Italia, Roberto Di Matteo. Begitu juga
PSSI, jika ingin berprestasi lebih dan menyelamatkan sepak bola
Indonesia dari fase kemunduran ini maka rekonsiliasi adalah jalan
yang harus ditempuh. Kalau tidak, bakal ada banyak klub di kompetisi
LSI maupun LPI yang akan madeg ditengah jalan seperti halnya PS
Bengkulu. Madegnya klub dan Kompetisi merupakan sinyal kematian untuk
prestasi tim nasional Indonesia.
Tapi para penikmat
sepak bola Indonesia yakin bahwa cahaya itu masih ada. Perbaikan
Kompetisi masih bisa. Prestasi yang diharapkan masih tercipta. Semoga
hal itu bukan fana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar