Selasa, 19 Februari 2013

POLITIK ISLAM PEMERINTAH BELANDA G.F PIJPER

Bagaimana sikap yang diambil oleh Pemerintah Belanda terhadap Islam dan kebudayaan Islam pada umumnya?
Lalu apakah kebudayaan Belanda yang dibawa terlalu merugikan bagi kehidupan spiritual Islam?
Pemerintahan Belanda sebenarnya menyimpan ketakutan yang amat mendalam dengan kasus fanatisme Islam yang muncul sebagai ideologi dan mampu memberikan tekanan yang luar biasa kepada pemerintahan Belanda. Sebelum hadirnya Snouck Hurgronje yang dalam paparan ini kemudian akan disebut S H, pemerintah Belanda seakan enggan mencampuri seluruh hal yang bersinggungan dengan Islam. Yang kemudian terkait dengan dasar-dasar liberalisme terhadap agama Islam , dimana pemerintah Belanda menggunakan undang-undang untuk membuat jarak dengan Islam.
Dan seolah pemerintah Belanda memberikan ruang bagi Islam pada saat kehadiran S H dengan politik Islam pemerintahan Belanda yang merupakan bibit awal dari konsep kerukunan antar umat beragama. Dalam undang-undang dasar pemerintahan Belanda, ditetapkan dalam artikel 119 bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memeluk agamanya masing masing, terhadap pelanggran peraturan-peraturan tersebut dapat dihukum pidana. Seiring berjalannya waktu kemudian undang-undang itu di adopsi menjadi Undang-Undang Dasar 1945. Sekali lagi terlihat bahwa pada masa Hindia Belanda pun kerukunan antar umat beragama telah dicetuskan dan dijamin dalam sebuah undang-undang yang sah dan mengikat.
Menilik lebih jauh kebelakang yaitu ketika masa dimana perang Jawa bergejolak. Perang sendiri dimotori oleh sosok Dipanagara dengan konsep perang Sabil nya, dimana pada masa itu Dipanagara mengkalim bahwa dirinya merupakan Ratu Adil telah membawa kerugian yang amat besar terhadap keadaan kas pemerintah Belanda. Perang yang hanya berlangsung selama kurang lebih 5 taun dan memilki dasar ideology Islam yang kuat telah mampu memobilisasi massa yang sangat besar dari berbagai macam lapisan, baik dari dalam maupun luar tembok keraton. Dari refleksi perang Jawa ini dapat diambil kesimpulan bahwa adanya ketakutan yang luar biasa hadir didalam kubu pemerintah Belanda merupakan produk dari pengalaman masa lalu.
Kemudian dengan hadirnya S H yang bisa disebut sebagai seorang yang terkenal dalam bidang pemikiran orientalis dan sebagai sosok pendiri pencetus ppolitik Islam pemerintah Belanda merupakan sebuah hembusan angin segar bagi pemerintah colonial, dimana ketika itu S H mampu mencetuskan sebuah konsep mengenai kerukunan umat beragama yang mampu sejalan dengan kemauan dari pihak pribumi. Ketika pemerintah Hindia Belanda memberikan kelonggaran terhadap perkembangan islam , hal itu mngakibatkan kenaikan dalam hal kegiatan berhaji. Tapi sebenarnya otak pergerakan dari berbagi macam resistensi Islam terhadap pemerintah Belanda hadir bukan dari mereka yang pulang dari berhaji. Melainkan dari pesantern atau hasil produk pendidikan Islam. Mereka secara otomatis memilki posisi yang terhormat dalam lingkungan masyarakat dan mudah untuk memobilisasi massa. Untuk membelenggu resistensi yang hadir dari latar belakang ideologi Islam maka pemerintahan Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam artikel 124 yang intinya menyerahkan wewenang pengawasan terhadap “pendeta” dalam hali ini bisa disebut atau disejajarkan dengan ulama kepada raja atau bupati.
Hadirnya S H selama 17 tahun di Hindia Belanda (1889-1906) merupakan masa dimana pemerintahan kolonial Belanda sedang mengalami fase yang diimana bisa dikatakan sebagai fase kemesraan pemerintah Belnda dengan ideologi Islam yang berkembang di Nusantara. Walaupun kerukuan umat beragama mampu diatur melalui undang-undang yang legal plus dengan pembatsan yang dilihat dari sisi kenegaraan yang diadopsi oleh tatanan muslim dan dengan jalan terbuka untuk membawa pemeluk agama islam kearah yang lebih baik. S H juga meninggalakn warisan dalam bentuk ordinasi perkawinan yang pertama pada tahun 1895 yang isinya mengatur campur tangan pemerintah salam urusan pernikahan dan perceraian menurut Islam .
Ketika S H meninggalakn Indonesia untuk kembali ke Belanda , mulai muncul gerakan-gerakan baru dibidang keagamaan. Gerakan tersebut hadir tidak berselang lama setelah kepulangan S H ke Belanda. Gerakan-gerakan tersebt antara lain Serikat Islam , Muhammadiyah, Al Irsyaad yang kemudian menghadapkan pemerintah hindia belanda kedalam masalah yang pelik. Timbulnya Reformisme dan modernisme di Nusantara untuk kesekian kalinya membawa sebuah kesimpulan bahwa Islam bukanlah agama nasional di dalam masyarakat Hindia Belanda. Tetapi sebuah agama Internasional, sebab akar dari modernism dan reformisme berasal dari mesir, Arab dan India.
Serikat Islam yang awalnya merupakan sebuah organisasi sosial , mampu berubah dalam waktu yang relative singkat. Kemudian Si berubah menjadi sebuah organisasi dengan pemimpin-pemimpin politikkeagamaan dan akhirnya melakukan resistensi terhadapa Belanda. Lain halnya dengan Muhammadiyah , meski kedua organisasi ini lahir dalam waktu yang bersamaan , namun hanya Muhammadiyah yang sejak awal karirnya konsisten untuk melawan pemerintah Belanda. Awalnya pergerakan organisasi Muhammadiyah hanya terfokus di Jawa saj, namun kemudian lambat laun mampu menangapkan pengaruhnya di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pertumbuhan Muhammadiyah yang semakin pesat juga ditandai dengan hadirnya sekolah, rumahsakit, rumah yatim piatu, dan perawatan kaum miskin. Ketiak hadir muhammadiyah bisa dikatakan sebagai organisasi massa yang bercorak baru, kenapa ? adanya Aisyiah yang berfokus dalam dunia perempuan merupakan sebuah refleksi sadar gender yang digalakan organisasi tersebut.
Seiring berjalannya waktu, juga dengan digalakan pemikiran-pemikiran keagamaan sesauai dengan hak kebebasan yang tercantum dalam undang-undang, melahirkan dikotomi dalam Islam. Hadirnya kaum muda yang mengikuti aliran baru dan kemudian adanya kaum tua yang terdiri dari kelompok yang mempertahankan tradisi agama lama yang sesuai dengan nenek moyangnya. Secara historis aliran lama ini lebih terlihat kooperatif dengan pemerintah Belanda.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar