Upacara
adat Sekaten yang diadakan setahun satu kali, yaitu pada saat Maulud
Nabi Muhammad SAW telah mengalami perubahan fungsi dari masa ke masa.
Seakan Sekaten telah kehilangan pijakan dasarnya sebagai sarana syiar
agama Islam bertranformasi menjadi wahana pasar malam selama sebulan
penuh. Sekarang, seakan upacara adat ini hanya sebuah rutinitas
festival tahunan Yogyakarta yang mulai terkikis fungsi religinya.
Berdirinya puluhan hingga ratusan stand-stand
yang
menyajikan begitu banyaknya pilihan kuliner,barang, dan jasa di
Alun-Alun Utara menjadi trademark
yang mencolok pada masa kini.
Sebelum
menilik Sekaten lebih jauh, alangkah baiknya kita mencoba perjalanan
sejarah dan dinamika Sekaten dalam perjalanan zaman.Sejak Kerajaan
Islam Demak Bintara, upacara adat Sekaten telah digelar dengan
menampilkan pementasan gamelan yang mampu memikat hati rakyat untuk
berduyun-duyun menyaksikan acara tersebut. Pada masa Kerajaan Demak
Bintara, alunan gendhing
gamelan merupakan media yang ampuh untuk menarik minat rakyat. Dalam
hal ini juga mampu menunjukan bahwa gamelan merupkan sarana syiar dan
da’wah Islam yang sangat ampuh dan mujarab. Tradisi Sekatenpun
mampu bertahan hingga generasi dinasti kerajaan Pajang.
Pada
masa Mataram, upacara Sekaten tidak mengalami perubahan
signifikan,drastis,
dan mencolok. Hal tersebut dikarenakan Sekaten merupakan media yang
masih sangat ampuh dalam medistribusikan syiar dan da’wah Islam di
daerah kekuasaan Mataram. Hal tersebut juga masih dikarenakan
keindahan alunan musik gamelan yang mampu menarik minat masyarakat
sekitar. Dalam pemikiran masyarakat Mataram mampu tercetak bahwa
Islam disebarkan melalui ‘jalan damai’ tanpa adanya penetrasi
kekerasan yang disisipkan dalam setiap ajarannya. Konsep Sekaten yang
dibentuk oleh salah satu anggota Wali Sanga
yaitu
Sunan Kali Jaga adalah penanaman Syahadat’ain sebagai suatu konsep
awal dalam pemelukan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini.
Sekaten
sendiri merupakan konsep paten dari komposisi seni dan ajaran da’wah.
Melalui keindahan Seni yang mengalun dalam irama setiap ketukan
gamelan mengandung untaian da’wah agama Islam. Dalam hal ini
tercermin kemampuan Sunan Kali Jaga dalam membaca situasi zaman. Hal
yang mampu membuat membuat rakyat memeluk agama Islam tanpa adanya
penetrasi paksaan dari luar.
Sekaten
Masa Kini
Upacara
adat Sekaten mengalami perubahan yang mualai mengkikis makna awal
dari upacara tersebut. Sekaten menjadi sebuah wahana hiburan ‘rakyat”
yang mulai komersil. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya berbagsi
stand-stand
yang menawarkan segala macam kebutuhan manusia dan sedikit agak
melenceng dari konsep awal yang dibentuk oleh Sunan Kali Jaga
walaupun disini mungkin ada banyak faktor yang mempengaruhi dan tak
dapat dihindari. Berbagai tuntutan zaman dan perubahan jiwa zaman
juga merupakan bagian dari faktor pendorong perubahan tatanan konsep
Sekaten. Upacara adat yang digelar di Areal Alun-Alun Utara Keraton
Yogyakarta Hadiningrat ini mejadi sarana yang mampu menyeret
masyarakat dalam lingkup pusaran budaya konsumtif. Setiap hari,
selama satu bulan penuh uang berputar di areal tersebut.
Pada
masa kini juga muncul berbagai opni keraguan mengenai kefektivitasan
syiar dan da’wah Islam dalam Sekaten di Era Modern ini. Mungkin
melalui mengenyampingkan berbagai persoalan mengenai kemajuan zaman
yang mampu memberikan manusia segala kemudahan dalam mengakses
informasi. Kemudian, bejubelnya media hiburan yang hadir di jagad
raya mulai melunturkan nilai da’wah Islam melalui media Sekaten.
Disamping itu juga adanya anggapan atau ketakutan -sebagian orang-
mengenai adanya indikasi komposisi syirik dalam Sekaten semakin
membuat Sekaten menjadi terpinggirkan.
Hal
yang sangat memperhatinkan ini sangat ironis semakin gemerlapnya
kemeriahan upacara tersebut dalam konteks pesta rakyat dan hiburan
bukan dalam konteks makan awalnya. Bahkan cepat atau lambat generasi
muda bangsa Indonesia menjadi amnesia akan makna awal Sekaten.
Sekaten merupakan bagian dari budaya dan kearifan lokal yang harus
dijaga kelestariannya. Di lain sisi Sekaten mampu menjaga jiwa budaya
Jogja agar tak terkikis sebagi kota yang memiliki
label
budaya luhur agar tak terkikis oleh erosi zaman yang mengedepankan
modernitas.
Diperlukan
kesadaran dari berbagai elemen masyarakat dalam menjaga kelestarian
nilai luhur dari Sekaten dan mampu bersanding dengan segala ‘hasil’
yang merupakan bagian dari modernitas perubahan zaman. Pemerintah dan
dinas terkait harus mampu bekerjasama dalam menjaga kelestarian
fungsi dari Sekaten.
Mungkin
dengan dihadirkannya suatu stand
yang
mencerminkan dan mempertunjukan sejarah dinamika Sekaten dari masa ke
masa menjadi kategori pilihan yang relevan terhadap masalah yang
menggerus nilai-nilai murni Sekaten. Selain itu dalam stand
tersebut mampu menunjukan bahwa Sekaten juga mampu menjadi media
rekreasi yang mendidik.
Kemudian
dalam ketakutan sebagian masyarakat baik secara individu maupun
kelompok akan hadirnya taburan syirik dalam upacara Sekaten merupakan
sebuah tantangan yang merupakan bagian dari koreksi terhadap mulai
bergesernya fungsi da’wah pada masa kerajaan hingga masa kini. Hal
ini merupakan masalah atau problematika mengenai kesalahan
intepretasi terhadap cara da’wah tradisional yang berkembang pada
masa lampau dengan proses da’wah masa sekarang. Hal ini lagi-lagi
merupakan problem yang harus diatasi oleh berbagai elemen masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar