Selasa, 19 Februari 2013

Sekaten Dalam Perubahan Zaman dan Penyelesaiannya


Upacara adat Sekaten yang diadakan setahun satu kali, yaitu pada saat Maulud Nabi Muhammad SAW telah mengalami perubahan fungsi dari masa ke masa. Seakan Sekaten telah kehilangan pijakan dasarnya sebagai sarana syiar agama Islam bertranformasi menjadi wahana pasar malam selama sebulan penuh. Sekarang, seakan upacara adat ini hanya sebuah rutinitas festival tahunan Yogyakarta yang mulai terkikis fungsi religinya. Berdirinya puluhan hingga ratusan stand-stand yang menyajikan begitu banyaknya pilihan kuliner,barang, dan jasa di Alun-Alun Utara menjadi trademark yang mencolok pada masa kini.
Sebelum menilik Sekaten lebih jauh, alangkah baiknya kita mencoba perjalanan sejarah dan dinamika Sekaten dalam perjalanan zaman.Sejak Kerajaan Islam Demak Bintara, upacara adat Sekaten telah digelar dengan menampilkan pementasan gamelan yang mampu memikat hati rakyat untuk berduyun-duyun menyaksikan acara tersebut. Pada masa Kerajaan Demak Bintara, alunan gendhing gamelan merupakan media yang ampuh untuk menarik minat rakyat. Dalam hal ini juga mampu menunjukan bahwa gamelan merupkan sarana syiar dan da’wah Islam yang sangat ampuh dan mujarab. Tradisi Sekatenpun mampu bertahan hingga generasi dinasti kerajaan Pajang.
Pada masa Mataram, upacara Sekaten tidak mengalami perubahan signifikan,drastis, dan mencolok. Hal tersebut dikarenakan Sekaten merupakan media yang masih sangat ampuh dalam medistribusikan syiar dan da’wah Islam di daerah kekuasaan Mataram. Hal tersebut juga masih dikarenakan keindahan alunan musik gamelan yang mampu menarik minat masyarakat sekitar. Dalam pemikiran masyarakat Mataram mampu tercetak bahwa Islam disebarkan melalui ‘jalan damai’ tanpa adanya penetrasi kekerasan yang disisipkan dalam setiap ajarannya. Konsep Sekaten yang dibentuk oleh salah satu anggota Wali Sanga yaitu Sunan Kali Jaga adalah penanaman Syahadat’ain sebagai suatu konsep awal dalam pemelukan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini.
Sekaten sendiri merupakan konsep paten dari komposisi seni dan ajaran da’wah. Melalui keindahan Seni yang mengalun dalam irama setiap ketukan gamelan mengandung untaian da’wah agama Islam. Dalam hal ini tercermin kemampuan Sunan Kali Jaga dalam membaca situasi zaman. Hal yang mampu membuat membuat rakyat memeluk agama Islam tanpa adanya penetrasi paksaan dari luar.
Sekaten Masa Kini
Upacara adat Sekaten mengalami perubahan yang mualai mengkikis makna awal dari upacara tersebut. Sekaten menjadi sebuah wahana hiburan ‘rakyat” yang mulai komersil. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya berbagsi stand-stand yang menawarkan segala macam kebutuhan manusia dan sedikit agak melenceng dari konsep awal yang dibentuk oleh Sunan Kali Jaga walaupun disini mungkin ada banyak faktor yang mempengaruhi dan tak dapat dihindari. Berbagai tuntutan zaman dan perubahan jiwa zaman juga merupakan bagian dari faktor pendorong perubahan tatanan konsep Sekaten. Upacara adat yang digelar di Areal Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta Hadiningrat ini mejadi sarana yang mampu menyeret masyarakat dalam lingkup pusaran budaya konsumtif. Setiap hari, selama satu bulan penuh uang berputar di areal tersebut.
Pada masa kini juga muncul berbagai opni keraguan mengenai kefektivitasan syiar dan da’wah Islam dalam Sekaten di Era Modern ini. Mungkin melalui mengenyampingkan berbagai persoalan mengenai kemajuan zaman yang mampu memberikan manusia segala kemudahan dalam mengakses informasi. Kemudian, bejubelnya media hiburan yang hadir di jagad raya mulai melunturkan nilai da’wah Islam melalui media Sekaten. Disamping itu juga adanya anggapan atau ketakutan -sebagian orang- mengenai adanya indikasi komposisi syirik dalam Sekaten semakin membuat Sekaten menjadi terpinggirkan.
Hal yang sangat memperhatinkan ini sangat ironis semakin gemerlapnya kemeriahan upacara tersebut dalam konteks pesta rakyat dan hiburan bukan dalam konteks makan awalnya. Bahkan cepat atau lambat generasi muda bangsa Indonesia menjadi amnesia akan makna awal Sekaten. Sekaten merupakan bagian dari budaya dan kearifan lokal yang harus dijaga kelestariannya. Di lain sisi Sekaten mampu menjaga jiwa budaya Jogja agar tak terkikis sebagi kota yang memiliki label budaya luhur agar tak terkikis oleh erosi zaman yang mengedepankan modernitas.
Diperlukan kesadaran dari berbagai elemen masyarakat dalam menjaga kelestarian nilai luhur dari Sekaten dan mampu bersanding dengan segala ‘hasil’ yang merupakan bagian dari modernitas perubahan zaman. Pemerintah dan dinas terkait harus mampu bekerjasama dalam menjaga kelestarian fungsi dari Sekaten.
Mungkin dengan dihadirkannya suatu stand yang mencerminkan dan mempertunjukan sejarah dinamika Sekaten dari masa ke masa menjadi kategori pilihan yang relevan terhadap masalah yang menggerus nilai-nilai murni Sekaten. Selain itu dalam stand tersebut mampu menunjukan bahwa Sekaten juga mampu menjadi media rekreasi yang mendidik.
Kemudian dalam ketakutan sebagian masyarakat baik secara individu maupun kelompok akan hadirnya taburan syirik dalam upacara Sekaten merupakan sebuah tantangan yang merupakan bagian dari koreksi terhadap mulai bergesernya fungsi da’wah pada masa kerajaan hingga masa kini. Hal ini merupakan masalah atau problematika mengenai kesalahan intepretasi terhadap cara da’wah tradisional yang berkembang pada masa lampau dengan proses da’wah masa sekarang. Hal ini lagi-lagi merupakan problem yang harus diatasi oleh berbagai elemen masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar