Pagi itu
mendung mengelayuti langit-langit Jogja. Tak seperti biasanya. Lalu Pukul 05.55
WIB, Jogja bergoncang, tak seperti biasanya. Rumah-rumah rusak, runtuh dan
ambruk. Iya pagi itu tepat 27 Mei 2006.
3 hari sesudah siswa-siswi SMP se Indonesia selesai menuntaskan UAN. Jogja
menjadi crowded, ribuan nyawa melayang. Puluhan ribu korban luka berjatuhan.
Kala itu denyut sepak bola Jogja
berhenti. Tanah-tanah lapang yang biasanya
digunakan anak-anak desa menggiring bola berubah menjadi tenda pengungsian. Menjadi rumah sakit
dadakan. Menjadi pusat krisis center. Sepakbola
Jogja istirahat sebentar. Bukan untuk mati, bukan karena PSSI. Bukan karena
sanksi FIFA. Tapi karena toleransi, bahwa lapangan sepak bola untuk semua.
Lapngan sepakbola menjalankan perannya untuk kemanusiaan.
Stadion pun begitu pula. Sebut saja
stadion Sultan Agung Bantul. Kala itu stadion yang sekarang menjadi kandang
kesebelasan Persiba Bantul masih dalam proses pembangunan. Stadion yang menjadi
kandang tim berjuluk Laskar Siultan Agung ini menjadi titik pusat pengungsian.
Ratusan orang berteduh dalam kekarnya tembok-tembok stadion. Di sini kita
melihat stadion dalam wajah lain-dalam wajah yang lebih luas. Stadion
(lapangan) untuk kemanusiaan
Oleh Ganang
Nur Restu (@ganang29)
Ditulis
untuk memperingati gempa jogja 27 Mei 2006