Alkisah
di sebuah hutan lebat hiduplah dua
keluarga hewan yang damai dan sejahtera. Kedua keluarga hewan itu adalah
keluarga Pak Aya dan Bu Emu. Keluarga pak Aya adalah keluarga Buaya yang
memiliki lima anak, salah satunya adalah Tiko. Sedangkan keluarga Bu Emu adalah
keluarga semut. Berbeda dengan dengan Pak Aya, Bu Emu memiliki ratusan anak,
dari ratusan anak itu salah satunya bernama Dito.
Awalnya
mereka hidup damai di hutan lebat. Tetapi belakangan ini kehidupan Pak Aya dan
Bu Emu sekeluarga mulai terganggu. Rumah Pak Aya yang berada di rawa-rawa mulai
tercemar dengan kotoran limbah pabrik. Air rawa yang semula nyaman untuk
istirahat Pak Aya sekeluarga menjadi tidak nyaman karena penuh oli. Begitu pula
Rumah Bu Emu dengan keluarga besarnya yang berada di bawah tanah. Tempat yang
awalnya nyaman untuk beritirahat sebagian telah dikeruk oleh traktor besar.
Melihat
kejadian yang menyedihkan ini Tiko yang sedang duduk-duduk di bawah pohon
bersama Dito ikut gelisah dan cemas. “Ko, rumah kita terancam oleh kegiatan
pertambangan itu” kata Dito memulai percakapan mereka. Tiko kemudian menjawab “Iya
To, benar juga, rimahku mulai dipenuhi oli hitam sisa limbah traktor besar,
sekarang ikan-ikan yang biasa aku makan menjadi banyak yang mati.” Angin yang
berhembus sepoi-sepoi seolah menemani percakapan mereka pada waktu itu. Setelah
beberapa saat terdiam, Dito memulai pembicaraan lagi “Kalau seperti ini terus,
lama-lama kita dan keluarga kita akan semakin terancam!”. “Lalu apa yang apa yang harus kita lakukan
To?” Tanya Tiko kepada Dito. “Jalan satu-satunya kita harus mencari rumah baru”
jawab Dito. Tiko dan Dito kemudian diam
sambil memandangi harapan langit biru yang luas. Di dalam hati mereka berdua kemudian meyakinkan niat untuk pergi mencari rumah baru.
Tak
terasa hari mulai sore ketika lamunan mereka berdua terhenti. Tiko kemudian
memulai pembicaraan lagi “Dito, Besuk pagi kita harus pergi ketempat dimana
matahari itu tenggelam. Aku yakin disitu ada rumah untuk keluarga kita.” Dito
mengangguk sebagai tanda setuju. Lalu
mereka berdua pulang ke rumah masing-masing.
Hari mulai gelap, di rumah masing-masing mereka meminta ijin kepada
kedua orang tua mereka masing-masing.
Akhirnya walaupun berat melepas dua anak itu, Pak Aya maupun Bu Emu
mengijinkan.
Ayam
mulai berkokok menandakan matahari mulai terbit. Dito yang bangun terlebih dahulu datang
menjemput Tiko. Mereka berdua kemudian berjalan menuju arah matahari tenggelam.
Perjalanan mereke ternyata tidak mulus. Rintangan yang mereka hadapi adalah
sebuah sungai besar dengan arus yang deras sekali. “Wah Ko, aku kan semut, aku
tak sanggup berenang.” Tutur Dito. Tijo menjawab “Tenang teman, aku kan buaya,
aku terbiasa menghadapi arus sungai yang deras seperti ini. Masa kamu tidak
tahu?” jawab Tiko sambil tertawa kecil. “Mari naik punggungku Dit, kita seberangi
sungai ini bersama-sama.” Imbuh Tiko.
Akhirnya mereka berdua mampu melewati sungai dengan selamat.
Tak
terasa perjalanan telah mencapai setengah hari. Mereka berdua kemudian
istirahat di bawah pohon mangga sambil makan siang. Tiko memulai pembicaraan
lagi “Apakah hutan di dekat matahari tenggelam
itu masih jauh ya Dit?” . “Sebentar Ko, aku akan mencoba memanjat pohon mangga
ini, aku kan kecil jadi aku akan mudah merayap naik keujung dahan itu.” Jawab
Dito sambil menunjuk ke atas. Tak berselang lama Dito dengan cekatan sudah
sampai di ujung dahan tertinggi. Dengan takjub dia memandangi arah dimana
matahari akan tenggelam. Di arah itu terlihat hamparan hutan hijau nan asri
dengan dikelilingi rawa-rawa kecil yang jernih. “kenapa kamu diam saja To? Apa yang kamu lihat? ” tanya Tiko dari bawah. “Aku melihat rumah baru!” jawab Dito dengan
begitu semangat. Kemudian Dito turun dari atas pohon dan mengajak Tiko berlari
dengan semangat menuju hutan dimana matahari tenggelam. Perjuangan mereka
berdua tak sia-sia. Mereka mendapati rumah yang asri untuk keluarga mereka.
Setelah
puas memandangi rumah baru nan asri yang baru saja mereka temui. Mereka berdua
kemudian berjalan pulang untuk mengabari keluarga mereka. Alhasil dengan usaha
mereka berdua, keluarga mereka memiliki rumah baru yang tidak tercemar maupun
terganggu aktivitas pertambangan.