Pagi
itu (23/06/2013), mentari masih mengintip malu dari ufuk timur. Tapi para
pemuda dusun Monggang telah sibuk mempersiapkan peralatan pertunjukan jathilan.
Ya memang, hari tersebut berbeda dengan hari minggu biasanya. Pada hari itu Paguyuban
Kesenian Jathilan Kudo Mataram akan melakukan pementasan dalam rangka “ditanggap” oleh salah satu penduduk di
desa tetangga. Paguyuban kesenian Jathilan Kudo Mataram sendiri merupakan
sebuah kelompok kesenian yang tumbuh dan berkembang di dusun Monggang-sebuah
dusun yang berada di selatan kota Yogyakarta.
Jathilan
didefinisikan oleh R M Soedarsono sebagai tarian rakyat yang biasanya dipentaskan
secara berpasangan dengan properti berupa kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman
bambu. Dalam setiap pementasannya, pertunujukan jathilan biasanya diakhiri
dengan prosesi kesurupan (trance). Sebenarnya tarian serupa dengan jathilan
telah tumbuh dan berkembang di berbagai penjuru wilayah pulau Jawa. Di daerah Jawa Barat tarian ini dikenal
dengan istilah kuda kepang, sedangkan diwilayah Jawa Timur tarian ini menjadi
bagian dari pertunjukan Reog.
Kembali
lagi kepada Paguyuban Jathilan Kudo Mataram, paguyuban ini mampu menjaga
eksistensinya dalam rentan waktu yang cukup lama. Hal ini menjadikan paguyuban
ini menjadi untuk dikaji. Berdasarkan narasumber yang saya temui, keberadaan
paguyuban ini sudah semenjak akhir masa kolonial Belanda, ada pula yang
menyebutkan berdiri ketika masa pendudukan Jepang, hal ini menjadi sebuah
kemakluman karena dokumentasi ataupun arsip yang berkaitan dengan hal tersebut
amatlah terbatas. Pada awal berdirinya kesenian ini, hanya digunakan sebagai
sebuah wahana untuk mengisi waktu luang setelah berkegiatan disawah. Hal ini
dikarenakan pada masa tersebut, hiburan yang bisa didapatkan warga dusun
Monggang amatlah terbatas.
Seiring
berjalannya waktu, paguyuban ini kemudian berkembang pesat. Hal itu dibuktikan
dengan semakin meluasnya eksistensi kelompok kesenian jathilan Kudo Mataram. Sebagai
sebuah pertunujukan seni yang mampu mengundang penonton yang begitu banyak,
paguyuban ini tak luput dari politisasi. Pada masa era Orde Baru, pemerintah
menggunakan kesenian ini untuk mensosialisasikan program-program pemerintah.
Hal ini terlihat dalam alunan lagu yang didendangkan selama pertunjukan. Contohnya sebagai berikut :
Ayo konco bebarengan dolanan
Ngeplak kendang nabuh bendhe
angklunge
Kabudayan bangsa kita
Jathilan iku arane
Penthul
Bejer pada mimpin jarane
Diatur
supaya menang perange
Menang
kalah padha wae
Sing
penting seneng atine
Iki jathilane iki jathilane
Kudo Mataram Kudo Mataram
Pendowoharjo Sewon Bantule
Wus gembleng tekad wargane nyengkuyung
Pembangunane lan Program bangsane
Gotong royong nyambut gawe
Adil makmur tujuane
Bantul
Produktif Bantul Produktif
Subur
tanahe Subur alame
Aman
lan asri asrep kahanane
Pada
bait-bait lirik yang dicetak tebal tersebut , terlihat bahwa paguyuban ini juga
ikut turut serta dalam penyampain program-program pembangunan pemerintahan Orde
Baru. Selain itu politisasi yang kedua pernah terjadi ketika PEMILU 1999. Pada
tahun 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memberikan sumbangan berupa
alat musik Drum, hal itu dilakukan dalam rangka kampanye partai politik
tersebut guna memperoleh suara di wilayah kecamatan Sewon. Sesuai dengan warna
dominan dari partai tersebut, alat musik Drum yang diberikan berwarna merah. Hal itu sedikit banyak
berimplikasi postiif, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mampu mengantongi
suara sebesar 35.689.073.[1]
Jumlah tersebut dalam presentase dapat digambarkan dengan angka 33.74 persen.
Di wilayah Bantul sendiri Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mampu
mendominasi perolehan suara pada pemilu 1999 sebagai pemilu pertama setelah
runtuhnya Orde Baru.
[1]http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=42
,dilihat pada tanggal 11 Februari
2013, 2:34 WIB.