Sudah menjadi hal
yang biasa , lumrah,dan wajar ketika para penikmat, pemerhati,
pancinta bahkan praktisi sepakbola Indonesia mengeluarkan uneg-uneg
kebosanannya terhadap PSSI. Manuver para petinggi PSSI (baik PSSI
versi Solo maupun Ancol) kian sembarangan dan semrawut. Sama-sama tak
mau kalah dan merasa paling sah untuk membawahi organisasi sepakbola
ini. Saya pun serupa dengan para peniikmat sepakbola di Indonesia,
saya pun merasa sangat letih dan sakit hati sebagai warga Negara
Indonesia, celakanya lagi muncul rasa hopeless,
tanpa secercah harapan. Publikpun tak ragu untuk mengutuki para
pemangku olahraga sepakbola ini (baik versi Solo maupun versi Ancol)
sebagai teater konyol yang tanpa klimaks. Sebenarnya kalau mereka
mau peka dengan membuka mata lebar-lebar dan memasang telinga pada
tempatnya, terlalu banyak harapan masyarakat kepada orang-orang yang
mengaku ingin memajukan persepakbolaan Indonesia.Coba saja kumpulkan
opini masyarakat yang berada di rubrik – rubrik Tabloid Bola, dan
serahkan pada para petinggi sepakbola Indonesia biar mereka sadar.
Sebenarnya
awal karut marut benang kusut sepakbola Indonesia berawal dari
dinastinya Nurdin Khalid. Terlihat Nurdin Cs belajar dari filsuf
terkenal Machiavelli,
belajar mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Toh
akhirnya rubuh juga karena kongres Solo, nafas baru di hembuskan,
semangat baru digelorakan oleh dinasti pengganti dibawah naungan
Djohar Arifin Cs, dan lagi-lagi geliat ketidakpuasan memuncak maka
PSSI pun jadi dua seperti naga bonar jadi dua. Yang unik lagi
timnaspun jadi dua, super sekali bukan ? bayangkan saja pada sebuah
pertandingan antar negara, Indonesia diwakili dua tim nasional. Terus
bagaimana ketentuan cara bermainnya? Aneh bin ajaib. Memang benar
pernyataan Jose Mourinho “ Sisi
negatif sepakbola adalah sisi negatif masyarakatnya. Orang perorang
membawa pengaruh negatifnya kedalam masyarakat melalui sepakbola “
dan pernyataan Jose Mourinho berlaku untuk karut marut benang kusut
sepakbola Indonesia.
Kalau
mendiskusikan kelemahan kelemahan sistem sepakbola Indonesia tidak
akn ada habisnya, lebih baik kita melakukan refleksi di bulan April
nan sakral dan penuh momentum ini. Ada apa dengan bulan April?
Tidakkah ini sperti bulan-bulan biasa semisal Januari, Februari dan
sebagainya? Oh tidak, 82 tahun yang lalu ketika Indonesia masih dalam
bentuk yang samar-samar , PSSI ini sudah berdiri tegak di Yogyakarta.
Bayangkan organisasi sepak bola ini sudah lahir lebih dahulu daripada
pemerintah negeri ini. Istimewa bukan?
Memang
sejak awal didirikan PSSI, unsur politik dan kepentingan sudah
tertuang nan kental. Awalnya PSSI merupakan organisasi tandingan
untuk melawan organisasi sepakbola bentukan pemerintah Hindia
Belanda. Tepatnya 19 April di kota Yogyakarta PSSI berdiri. Sepakbola
pada masa itu digunkan sebagai media propaganda yang laris manis,
terbukti pendiri Republik ini, Sukarno meggunakan olahraga ini untuk
mengelorakan semangat nasionalisme.
Yah, melihat perkembangan dinamika PSSI skerang ini, terlihat tidak adanya sosok yang kuat sekuat Sukarno, dengan jargonnya yang begitu popular “don’t leave history”, beliau meggelorakan revolusi dalam dunia olahraga, bayangkan saja terobosan terbosannya dalam penciptaan Istora senayan yang hingga detik ini masih menjadi pusat penyelenggaraan aktivitas olahraga-termasuk sepakbola. Jika mungin sang bapak berreinkarnasi dan abadi hingga sekarang karut marut PSSI tak akan meluas seperti ini. Untuk sosok yang kedua, kita juga perlu mengenang dan menjadikan beliau sebagai sumber Inspirasi. Beliau adalah Bapak Endang witarsah (Liem Soen Joe) yang wafat pada 2 April 2008, yah lagi-lagi April merupakan bulan yang pas untuk melakukan introspeksi pemerhati sepakbola Indonesia. Endang witarsah sampai akhir hayatnya mendedikasikan hidupnya untuk sepakbola Indonesia. Bayangkan saja, beliau menolak bergabung dengan PSSInya Hindia Belanda demi merah putih. Orang yang langka untuk masa sekarang. Seorang keturunan Cina yang begitu mencintai Indonesia.
Yah, melihat perkembangan dinamika PSSI skerang ini, terlihat tidak adanya sosok yang kuat sekuat Sukarno, dengan jargonnya yang begitu popular “don’t leave history”, beliau meggelorakan revolusi dalam dunia olahraga, bayangkan saja terobosan terbosannya dalam penciptaan Istora senayan yang hingga detik ini masih menjadi pusat penyelenggaraan aktivitas olahraga-termasuk sepakbola. Jika mungin sang bapak berreinkarnasi dan abadi hingga sekarang karut marut PSSI tak akan meluas seperti ini. Untuk sosok yang kedua, kita juga perlu mengenang dan menjadikan beliau sebagai sumber Inspirasi. Beliau adalah Bapak Endang witarsah (Liem Soen Joe) yang wafat pada 2 April 2008, yah lagi-lagi April merupakan bulan yang pas untuk melakukan introspeksi pemerhati sepakbola Indonesia. Endang witarsah sampai akhir hayatnya mendedikasikan hidupnya untuk sepakbola Indonesia. Bayangkan saja, beliau menolak bergabung dengan PSSInya Hindia Belanda demi merah putih. Orang yang langka untuk masa sekarang. Seorang keturunan Cina yang begitu mencintai Indonesia.
Harusnya
momentum April ini menjadi titik balik bagi para petinggi sepakbola
Indonesia untuk menyudahi polemik yang begitu panjang dan sangat
mebosankan ini. Lihatlah masa lalu, lihatlah mereka yang telah
mededikasikan semuanya untuk sepakbola Indonesia, lihatlah mereka
yang cari makan dari sepakbola, mereka butuh kejelasan dan
kenyamanan. Dan yang terakhir lihatlah kami, bapak-bapak, kami
pencinta sepakbola Indonesia, kami rindu prestasi bukan untuk
dijejali panggung sandiwara yang sangat berantakan.
Selamat
ulang tahun PSSI-ku, PSSI kami, PSSI milik warga Negara Indonesia,
bukan milik anda para segelintir orang yang gemar bermanuver ria.
Kami optimis cahaya itu masih ada dan nyata!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar