Sejenak
lupakan geger
sepak
bola nasional yang telah berlangsung berbulan-bulan. Ya, sejak
dinasti Nurdin Halid mengalami masa pageblug
dengan
tuntutan untuk mundur dari kursi nomor satu kerajaan PSSI. Geger
sepak
bola nasional terus menerus menggelinding bak bola salju. Semakin
lama geger
sepak
bola nasional semakin membesar dan semarwut. Naiknya sang caretaker
sekelas Djohar Arifin, tidak membuat situasi semakin membaik. Angin
kesegaran berhembus singkat saja. Kemudian berganti badai topan maha
dahsyat, ketika kebijakan yang dikeluarkan sang caretaker hasil KLB
Solo ini dianggap sangat tidak popular bagi sepak bola Indonesia. Hal
itu terlihat dari inkonsistensi Djohar Cs sejak awal kepemimpinannya.
Nah, dari
kebijakan-kebijakan yang sangat tidak popular itu, menimbulkan reaksi
keras dari kubu yang berseberangan. Kubu tersebut mengutamakan KPSI
dan membentuk PSSI tandingan ala Ancol. Problem turunannya timnaspun
terbelah menjadi dua biji.
Carut
marut persepakbolaan Indonesia seakan tidak selesai, bagai film tanpa
akhir sehingga mebuat bosan para pecinta sepakbola nasional. Mari
kita bergeser dan meberikan apresiasi bagi Timnas yang sedang
berjuang begitu keras di Palestina dalam Turnamen Al- Nakbah. Memang
turnamen ini tidak dalam koridor kalender FIFA. Namun, setidaknya ini
merupakan obat kerinduan bagi para pecinta sepakbola Indonesia yang
telah lama tidak menikmati timnas garuda berlaga dalam sebuah
turnamen. Masih ingatkah dengan gelaran AFF, yang begitu sangat
sepektakuler pada akhir tahun 2010 di Jakarta ?. Terlihat bagaimana
nasionalisme masyarakat Indonesia dalam mendukung timnas. Kemudian
dilanjutkan dengan eforia Sea Games yang berlansung setahun kemudian.
Antusias supporter juga begitu maha dahsyat . Apalagi ketika Brunei
menjadi merah putih saat timnas berlaga di Hasanal Bolkiah Trophy.
Walaupun ketiga dari kletiga turnamen itu Indonesia menjadi tim
spesialis juara dua, tapi lihatlah apresiasi supporter Indonesia yang
sangat fanatik baik di dalam maupun diluar negeri.
Dilihat
dari fungsinya sebuah turnamen sepakbola baik itu dalam koridor
kelender FIFA maupun bukan adalah memberikan sebuah eksistensi
sepakbola nasional di mata dunia. Turnamen Al-Nakbah wajib dijadikan
sebuah momentum untuk menjaga eksitensi sepakbola Indonesia baik di
dalam negeri maupun dimata dunia. Dalam perjalanan sejarah negeri ini
,hubungan baik Palestina dengan Indonesia telah tersaji begitu mesra
bak sepasang kekasih. Hal itu dimulai denga pengakuan kemerdekaan
masing-masing negara. Ketika 2011 timnas Palestina mau mengunjungi
Indonesia ketika di undang ke Solo guna latih tanding melawan
Indonesia. Hasilnya Indonesia menang telak 4-1. Kini, ketika
Palestina mengundang Indonesia untuk mengikuti turnamen Al-Nakbah
harus dijadikan sebagai sebuah misi suci demi sepakbola Indonesia.
Misi suci yang
pertama adalah mejaga hubungan bilateral kedua negara. Dari sisi
historis, Indonesia memiliki hubungan yang sangat baik. Selain saling
mengakui kemerdekaan kedua negara, Indonesia pernah mengirimkan
pasukan Garuda untuk mebantu meredakan konflik di Timur Tengah pada
periode 1970an. Maka ketika undangan untuk mengikuti turnamen
Al-Nakbah dalam rangka memperingati Nakba Day, sebuah hari dimana
bencana menghinggapi bangsa Palestina pada tahun 1948 wajib disambut
baik oleh PSSI. Dalam hal ini sepak bola bagaikan pengikat tali
silahturami kedua negara.
Untuk misi suci yang
kedua turnamen ini harus digunakan sebagai wahana untuk mewujudkan
eksistensi sepakbola Indonesia di mata dunia walaupun dalam balutan
kisruh intern PSSI. Setidaknya apapun hasil yang diraih timnas
Indonesia, eksitensi sepakbola Indoesia masih terjaga dengan sangat
baik walaupun sedang sakit dibagian dalam. Harkat martabat bangsa
Indoesia pun mampu akan terangkat jika mampu menjuarai turnamen ini.
Suara-suara sumbang dari dalam akan sedikit mengendur. Semoga saja !
Misi suci yang
ketiga akan terselesaikan dengan baik jika timnas mampu berbicara
banyak dalam turnamen ini. Dalam hal ini berbicara banyak bukan
berarti harus menjuarainya. Berbicara banyak adalah dengan mampu
mengembalikan gairah dan atmosfer para supporter Indonesia dalam
menikmati kompetisi nasional maupun internasional. Saya yakin jika
Indonesia mampu berbicara banyak dalam turnamen ini, laga timnas di
dalam negeri akan kembali dipenuhi para supporter Indonesia.
Keuntungan turunan yang merupak implikasinya adalah ramainya stadion
ketika klub-klub lokal bermain dalam kompetisi ISL maupun IPL. Ya,
sekali lagi sebuah tuirnamen yang diikuti timas Indonesia mampu
menghidupkan gairah para pendukung yang belakangan ini sedang
mengalami fase lesu.
Rekonsiliasi dan
meleburnya dualism PSSI menjadi misi yang keempat timnas garuda di
bumi Palestina. Sebelumnya dalam pembentukan kerangka timnas yang
akan dibawa telah menunjukan sinyal yang sangat positif. Hal itu
ditunjukan dengan bergabungnya Titus Bonai dan Oktavianus Maniani
yang notabene pemain dari klub ISL (persipura dan Persiram).
Bergabungnya kedua bintang itu menjadi angin segar bagi iklim
persepakbolaan di Indonesia. Apapun hasil yang diraih dari turnamen
ini setidaknya ada grafik positif yang sedang dialami sepakbola
Indonesia yan sudah lama mengalami fase geger
.
Untuk misi suci yang
terakhir dan menjadi misi pemungkas adalah mendekatnya para
sponsorship kedalam atmosfer sepakbola Indonesia, baik IPL maupaun
ISL. Denagan adanya turnamen Al Nakbah eksistensi Indonesia dalam hal
sepakbola kian terjaga. Sehingga para sponsor tidak takut untuk
cawe-cawe
dalam mendanai kompetisi di Indonesia. Bukan rahasia lagi jika
klub-klub di Indonesia baik IPL maupun ISL sedang menagalami krisis
finasial yang sangat akaut. Sebagai contohnya PSMS versi ISL yang
menunggak gaji pemain hingga akhir tahun. Semoga dengan hadirnya
geliat timnas di Palestina, para sponsor akan dengan tidak ragu-ragu
member kucuran dana dalam kompetisi yang terselenggara di Indonesia.
Kelima misi suci itu
sedang di emban oleh para ksatria merah putih kita. Semoga sepakbola
Indonesia semakin baik dengan adanya momentum Al-Nakbah ini. Bravo
sepakbola Indonesia. Terakhir sedikit menguti pernyataan Bambang
Pamungkas
dalam bukunya Ketika Jemariku Menari : One
Faith, One Flag, One Mission, One Heart, and One love for Indonesia .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar