Istilah
kata galau begitu sangat populer dan sangat fenomenal pada saat ini.
Entah darimana datangnya, tapi istilah kata galau begitu sangat
diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Istilah galau
sendiri jika di cari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita tidak
akan menemukan artinya, mungkin karena ini masih menjadi sebuah
istilah baru. Galau kadang diartikan sebagai sebuah kondisi yang
tidak menentu,bimbang ataupun gundah gulana.
Begitupun
senada dengan PSSI selama beberapa tahun terakhir ini, sedang
mengalami kegalauan yang begitu akut. Kegalauan sebuah organisasi
yang bahkan secara usia lebih tua dari negara ini. Sebelum negara ini
diproklamirkan oleh para founding
father
semacam Sukarno Hatta, PSSI sudah berdiri tegak menyongsong masa
depan. Sebenarnya kegalauan PSSI itu sederhana. Ingin membentuk
sebuah organisasi yang sehat yang nanti “goalnya” adalah sebuah
prestasi yang mentereng dan bisa dibanggakan oleh seluruh rakyat
Indonesia. Ketika prestasi itu hadir maka rakyat Indonesia bakal
bilang “ Ini lho Indonesia!”.
Awal
kegalauan yang berhubung efek domino yang begitu panjang ini
sebenarnya sangat sederhana. Munculnya letupan – letupan letupan
ketidakpuasan terhadap kinerja dari lini per lini dinasti Nurdin
Halid memaksa terjadinya sebuah kudeta revolusi kepengurusan PSSI.
Dan akhirnya memunculkan rezim Djohar Arifin cs ke kasta tertinggi
pemangku organisasi yang begitu populer di negeri ini. Ternyata
dengan terpilihnya Djohar belum mampu mengakhiri kegalauan PSSI,
malah timbul galau-galau baru yang akhirnya menimbulkan sebuah fase
benang kusut dalam tubuh PSSI. Sangat sulit diurai dan begitu silang
sengkarut. Lahirlah berbagai macam polemik yang melilit kaki kancah
persepakbolaan Indonesia terpaksa membawa persepakbolaan Indonesia
jalan di tempat bahkan beisa dikatakan mundur. Alhasil muncul suara
sumbang dari para individu maupun kelompok yang menyatakan diri
mereka dengan simbol yang peduli akan masa depan PSSI. Munculnya PSSI
tandingan hasil musyawarah Ancol yang diprakarsai oleh KPSI yang
katanya akan mneyelamatkan sepakbola Indonesia. Terpilihlah sosok
yang begitu vokal mengkritisi kinerja dinasti Djohar Arifin, yaitu
sosok La Nyalla Mattaliti.
Bayangkan
dalam sebuah negara memiliki dua organisasi yang sama-sama merasa sah
membawahi sepakbola di Indonesia, aneh bin ajaib bukan? . Timnaspun
dipaksa menjadi dua kubu, timnas versi PSSI Solo yang mayoritas
garnisunnya berasal dari kompetisi primer dan Timnas yang para
punggawanya berasal dari kompetisi super. Alhasil yang terjadi adalah
degradasi prestasi,
kompetisi,
maupun simpati
supporter Indonesia. Berkaca dari event terakhir yaitu SCTV cup,
Timnas kita galau total. Kita dipecundangi oleh Malaysia muda dan
Korea Utara. Kinerja transisi antar lini dalam turnamen ini begitu
buruk. Ini adalah sebuah hasil dari kompleksitas kompetisi yang
secara kualitas mengalami degradasi. Efek domino ini menghasilkan
implikasi yang sangat luas. Bagi sebuah Timnas yang sebelum mengalami
masa galau selalu didukung ratusan ribu suporternya kini seperti
bermain dalam sebuah partai usiran, minim supporter !. Para
petinggi sepakbola Indonesia sendiri yang mengusir suporternya dari
stadion, ya cara mengusirnya sederhana. Hanya dengan membuat iklim
persepakbolaan di Indonesia menjadi sengkarut maka stadion seperti
rumah kosong . Gampang bukan?
Selanjutnya
PON pun terasa diaduk-aduk oleh para petinggi PSSI. Cabang sepakbola
dan futsal pun terkena imbasnya. Ironis sekali, sebuah ajang besar
diancam akan diboikot PSSI. Padahal tak jarang ajang ini melahirkan
para bintang-bintang yang membela tanah airnya. Sebut saja Oktavianus
maniani dan Yoshua Pahabol sebagai produk keluaran cabang sepakbola
PON. Sangat aneh bukan?
Lama
– lama masyarakat pecinta sepakbola maupun supporter Indonesia
bakal apatis
dan apriori
dengan kondisi sepakbola di negaranya sendiri. Padahal olahraga ini
begitu sangat pop di negeri ini. Yang ada sekarang hanyalah kata
bosan, bosan, dan bosan. Mungkin jika terus seperti ini
lapangan-lapangan rumput di desa-desa bakal sangat lesu dari gairah
atmosfer sepakbola. Efek domino yang lebih parah adalah hilangya
idola-idola sepakbola Indonesia karena terganti dengan maskot semisal
Cristiano Ronaldo, Lionel Messi maupun Wayne Rooney . Hal ini bakal
berimplikasi negative terhadap semangat nasionalisme anak-anak
Indonesia, bahkan akan mampu merongrong kedaulatan tanah air.
Seharusnya para petinggi sepakbola Indonesia sadar akan masalah
kegalauan akut ini.
Terakhir
adalah hal yang begitu miris saya rasakan ketika ada anak di desa
saya yang berucap “ saya sudah bosan melihat timnas Indonesia yang
jelek mainnya, mas. Mending nonton liga inggris apa liga spanyol!”,
mencengangkan. Pernyataan ini pasti mewakili anak-anak diseluruh
negeri ini yang rindu akan prestasi bangsanya. Bukan menjadi sebuah
negeri pemimpi yang tak tahu kapan mewujudkan mimpinya menjadi
kenyataan. Sekali lagi, ironis !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar