Berita
duka kembali menyelimuti sepak bola Indonesia. Pertandingan yang
bertajuk “duel klasik “ antara Macan Kemayoran (Persija ISL)
melawan Maung Bandung (Persib) kembali meminta korban. Duel yang kali
ini berlangsung di SUGBK ini mengakbitkan 3 penonton meninggal akibat
di keroyok massa. Stadion yang harusnya menjadi tempat para penonton
memerdekakan diri malah menjadi tempat yang “menyeramkan”. Memang
partai klasik antara Persija vs Persib selalu berlangsung panas dan
ketat. Ya, pertandingan antara kedua tin ini layaknya partai final
yang haram jika salah satu tim menelan kekalahan. Aura panaspun tidak
hanya di dalam lapangan, namun ditribun penonton begitu juga.
Pertandingan
derby pasti akan berlangsung panas. Lihat saja debry Milano antara AC
Milan vs Inter Milan, Liverpool vs Everton, Chelsea vs Queen Park
Ranger yang sampai mencuatkan isu rasisme yang dilakukan John Terry
kepada Anton Ferdinand. Ketika pertandingan derby sepakbola bukan
hanya permainan di lapangan hijau, melainkan sebuah kompleksitas
antara olahraga, gengsi dan emosi.
Namun
apakah partai derby harus diakhiri dengan kekerasan yang terjadi
diluar lapangan?. Padahal ketika duel klasik antara Persija vs Persib
para pemain dilapangan tampak tampil sportif. Apapun bentuk kekerasan
dalam lingkungan sepak bola tidak dibenarkan. Karena sepakbola
merupakan olahraga yang menjujung tinggi sportivitas dan fair play.
Bukankah slogan dalam pertandingan sepakbola adalah “My Game is
Fair Play” ?
Jauh
ditarik kebelakang, tepatnya sebelum Indonesia merdeka pertandingan
derby yang pada saat itu sangat ketat tapi berlangsung kondusif
seperti yang dilukiskan oleh Sugiarta Sriwibawa. Derby itu adalah
pertandingan antara Persis Solo melawan PSIM Yogyakarta. Ketika itu
sepakbola merupakan hiburan yang sangat laris dikalangan penduduk
pribumi. Sepakbola merupakan tempat pelarian disaat penat. Saat itu
pertandingan berlansung di lapangan Sriwedari Solo pada malam hari
dikarenakan bulan puasa. Pada masa itu Persis dan PSIM merupakan
klub-klub besar di wilayah Jawa. Hal itu terbukti dengan raihan
trophy kedua tim. Jadi menjadi hal yang wajar jika bertandingan
berlangsung panas dan ketat. Unsur kenangan sejarah masa lampau juga
membungkus panasnya derby ini. Memang wilayah Solo dan Yogyakarta
merupakan wilayah pecahan dari kerajaan Mataram Islam. Kerajaan
tersebut terbelah karena perjanjian Giyanti 1755. Kedua wilayah
tersebut merupakan pewaris sah tanah Jawa. Jadi tak heran jika unsur
historis itu merasuk dalam pertandingan sepakbola.
Pertandingan
yang berlansung pada malam hari itu berjalan ketat. Para pemain
Persis mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mengalahkan
para pemain PSIM. Alhasil Persis saat itu menang besar. Hal yang
menarik pada saat itu masih terlihatnya rasa malu jika mencetak gol
lewat penalty. Hal itu mungkin merupakan cerminan budaya jawa yang
memiliki rasa
pakewuh .
Yang lebih menarik lagi adalah sikap kedewasaan keduabelah pendukung.
Para pendukung PSIM diijinkan menonton dengan aman dan nyaman di
lapangan Sriwedari SOLO yang notabene merupakan kandang sang rival.
Para pendukung PSIM dating menggunakan kereta, taksi, andong bahkan
sepeda. Tetapi mereka tidak mendapatkan ancaman dai para pendukung
solo secara verbal. Ya, mungkin sindiran-sindiran menjadi hal yang
wajar dalam sepakbola.
Pertandingan
derby antara Persis dan PSIM tersebut mungkin bisa dijadikan contoh
untuk para supporter pada masa sekarang. Fanatisme yang heroik
boleh-boleh saja tapi segala bentuk kekerasan dalam dunia sepakbola
harus diharamkan. Sepakbola Indonesia sudah pesakitan dengan segala
polemik yang menaungi PSSI. Dualisme kepemimpinan, dualisme
kompetisis, degradasi kualitas kompetisi, dan krisis prestasi telah
mengakibatkan sepak bola Indonesia mengalami masa “Dark Ages”
atau zaman kegelapan. Jangan ditambah dengan bentrok dan tawuran
antar supporter. Bukankah supporter harus menjadi penyeimbang dan
penyelamat dari zaman kegelapan ini? Bukan malah mengobarkan
fanatisme sempit untuk mendukung timnya?. Kalau sepakbola masih saja
dala, masa Dark Ages seperti ini, niscaya sepakbola Indonesia akan
segera tertinggal dari para tetangganya.
Untuk
para supporter sepakbola yang ada di Indonesia dewasalah!. Fanatisme
sempit tidak akan memberikan sebuah kebahagiaan jika ada korban
disisi lain. Stadion yang tidak kondusif bakal merugikan bagi tim
jika terkena sanksi dari Komdis PSSI. Tim akan kehilangan pemasukan
dari tiket dan para supporter akan kehilangan kesempatan melihat tim
kesayanganny berlaga di kandang. Merugikan sekali. Terakhir mengutip
kata-kata dari kapten Persjia, Bambang Pamungkas “berbeda
bendera bukan berarti kita tidak bersahabat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar