Selasa, 19 Februari 2013

BELAJAR DARI “DERBY” ALA JAWA

Berita duka kembali menyelimuti sepak bola Indonesia. Pertandingan yang bertajuk “duel klasik “ antara Macan Kemayoran (Persija ISL) melawan Maung Bandung (Persib) kembali meminta korban. Duel yang kali ini berlangsung di SUGBK ini mengakbitkan 3 penonton meninggal akibat di keroyok massa. Stadion yang harusnya menjadi tempat para penonton memerdekakan diri malah menjadi tempat yang “menyeramkan”. Memang partai klasik antara Persija vs Persib selalu berlangsung panas dan ketat. Ya, pertandingan antara kedua tin ini layaknya partai final yang haram jika salah satu tim menelan kekalahan. Aura panaspun tidak hanya di dalam lapangan, namun ditribun penonton begitu juga.
Pertandingan derby pasti akan berlangsung panas. Lihat saja debry Milano antara AC Milan vs Inter Milan, Liverpool vs Everton, Chelsea vs Queen Park Ranger yang sampai mencuatkan isu rasisme yang dilakukan John Terry kepada Anton Ferdinand. Ketika pertandingan derby sepakbola bukan hanya permainan di lapangan hijau, melainkan sebuah kompleksitas antara olahraga, gengsi dan emosi.
Namun apakah partai derby harus diakhiri dengan kekerasan yang terjadi diluar lapangan?. Padahal ketika duel klasik antara Persija vs Persib para pemain dilapangan tampak tampil sportif. Apapun bentuk kekerasan dalam lingkungan sepak bola tidak dibenarkan. Karena sepakbola merupakan olahraga yang menjujung tinggi sportivitas dan fair play. Bukankah slogan dalam pertandingan sepakbola adalah “My Game is Fair Play” ?
Jauh ditarik kebelakang, tepatnya sebelum Indonesia merdeka pertandingan derby yang pada saat itu sangat ketat tapi berlangsung kondusif seperti yang dilukiskan oleh Sugiarta Sriwibawa. Derby itu adalah pertandingan antara Persis Solo melawan PSIM Yogyakarta. Ketika itu sepakbola merupakan hiburan yang sangat laris dikalangan penduduk pribumi. Sepakbola merupakan tempat pelarian disaat penat. Saat itu pertandingan berlansung di lapangan Sriwedari Solo pada malam hari dikarenakan bulan puasa. Pada masa itu Persis dan PSIM merupakan klub-klub besar di wilayah Jawa. Hal itu terbukti dengan raihan trophy kedua tim. Jadi menjadi hal yang wajar jika bertandingan berlangsung panas dan ketat. Unsur kenangan sejarah masa lampau juga membungkus panasnya derby ini. Memang wilayah Solo dan Yogyakarta merupakan wilayah pecahan dari kerajaan Mataram Islam. Kerajaan tersebut terbelah karena perjanjian Giyanti 1755. Kedua wilayah tersebut merupakan pewaris sah tanah Jawa. Jadi tak heran jika unsur historis itu merasuk dalam pertandingan sepakbola.
Pertandingan yang berlansung pada malam hari itu berjalan ketat. Para pemain Persis mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mengalahkan para pemain PSIM. Alhasil Persis saat itu menang besar. Hal yang menarik pada saat itu masih terlihatnya rasa malu jika mencetak gol lewat penalty. Hal itu mungkin merupakan cerminan budaya jawa yang memiliki rasa pakewuh . Yang lebih menarik lagi adalah sikap kedewasaan keduabelah pendukung. Para pendukung PSIM diijinkan menonton dengan aman dan nyaman di lapangan Sriwedari SOLO yang notabene merupakan kandang sang rival. Para pendukung PSIM dating menggunakan kereta, taksi, andong bahkan sepeda. Tetapi mereka tidak mendapatkan ancaman dai para pendukung solo secara verbal. Ya, mungkin sindiran-sindiran menjadi hal yang wajar dalam sepakbola.
Pertandingan derby antara Persis dan PSIM tersebut mungkin bisa dijadikan contoh untuk para supporter pada masa sekarang. Fanatisme yang heroik boleh-boleh saja tapi segala bentuk kekerasan dalam dunia sepakbola harus diharamkan. Sepakbola Indonesia sudah pesakitan dengan segala polemik yang menaungi PSSI. Dualisme kepemimpinan, dualisme kompetisis, degradasi kualitas kompetisi, dan krisis prestasi telah mengakibatkan sepak bola Indonesia mengalami masa “Dark Ages” atau zaman kegelapan. Jangan ditambah dengan bentrok dan tawuran antar supporter. Bukankah supporter harus menjadi penyeimbang dan penyelamat dari zaman kegelapan ini? Bukan malah mengobarkan fanatisme sempit untuk mendukung timnya?. Kalau sepakbola masih saja dala, masa Dark Ages seperti ini, niscaya sepakbola Indonesia akan segera tertinggal dari para tetangganya.
Untuk para supporter sepakbola yang ada di Indonesia dewasalah!. Fanatisme sempit tidak akan memberikan sebuah kebahagiaan jika ada korban disisi lain. Stadion yang tidak kondusif bakal merugikan bagi tim jika terkena sanksi dari Komdis PSSI. Tim akan kehilangan pemasukan dari tiket dan para supporter akan kehilangan kesempatan melihat tim kesayanganny berlaga di kandang. Merugikan sekali. Terakhir mengutip kata-kata dari kapten Persjia, Bambang Pamungkas “berbeda bendera bukan berarti kita tidak bersahabat”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar