Selasa, 19 Februari 2013

SEMOGA MENDIETA MENJADI YANG TERAKHIR.

Cerita pilu kembali menaungi sepakbola Indonesia. Setelah beberapa bulan yang lalu mantan pemain Persikota Tangerang Bruno Zandonadi menggembuskan nafas terakhirnya di negeri rantau baginya. Kemarin selasa Diego Mendieta mengulang kejadian yang serupa. Kabar duka datang pada selasa dinihari di RS Moewardi Solo. Mantan pemain Persis Solo versi PT Liga Indonesia divonis terserang virus Cylomegalo yang menyebabkan daya tahan tubuh pemain asal Paraguay ini menurun dan telah menyerang otak dan matanya. Selain itu jamur Candidiasis juga menyerang bagian tubuh lainnya.
Hal itu semakin menyesakkan karena gaji Mendieta selama memperkuat Persis Solo versi PT LI belum seutuhnya terbayar. Hal itu sangat berbanding terbalik, bagaikan langit dan bumi dengan para pemain yang berkiprah di sebagian Eropa. Pada 2005 di Inggris sebut saja nama sekelas Frank lampard dan Sol Campbell yang dibayar sebesar Rp.1,7 Milyar sepekan dan hal itu setara dengan Rp. 85 milyar dalam jangka waktu setahun. Memang terkesan “lebay” jika kita membandingkan antara sepakbola Indonesia dengan sepakbola Inggris . Indonesia terlihat hamper kalah telak dari semua segmen sepakbola Inggris. Mulai dari sistem kompetisi, neraca keuangan tim-tim kontestan EPL, hingga supporter. Tapi setidaknya melalui sepakbola Inggris, Indonesia bisa belajar.
Kondisi FA sebagai badan otoritas tertinggi dalam mengurusi segala seluk beluk sepak bola di Inggris memiliki tingkat kestabilan bagus. Maka dari itu FA mampu menghadirkan kompetisi kelas wahid di muka bumi. Tim-tim yang berlaga pun mampu menjaga kualitas liga sehingga banyak bintang yang bergabung tanpa harus was-was dengan permasalahan gaji. Lihat saja seorang Frank Lampard pada tahun 2005 mampu mengantongi Rp. 1,7 milyar dalam waktu sepekan. Bandingkan saja dengan gaji yang ditunggak Persis versi PT LI sebesar Rp. 131 juta untuk beberapa bulan.
Hal yang sangat ironis dan berbanding terbalik bagaikan langit dan bumi terjadi di Indonesia. Polemik gaji yang nunggak beberapa bulan seolah menjadi hal yang wajar bagi para tim kontestan di kompetisi IPL maupun ISL.Meninggalnya Diego Mendieta karena sakit dan tidak mempunyai uang untuk berobat maupun membayar kosnya menjadi titik klimaks dari prahara ini. Para petinggi yang katanya peduli dengan sepak bola Indonesia harusnya peka dengan keadaan ini. Karut- marut persepakbolaan Indonesia telah menelan korban jiwa.
Sebenarnya egoisitas para petinggi sepakbola Indonesia yang telah berlangsung lama ini telah menghadirkan permasalahan yang begitu kompleks dan sangat kronis. Dari sisi turnamen Internasional , polemik ini bias dibilang mengakibatkan timnas Indonesia gagal total. Di mulai dengan babak belurnya prestasi timnas diajang kualifikasi Piala Dunia 2014. Dilanjutkan kegagalan merengkuh medali emas dalam ajang SEA Games yang berlangsung di negeri ini. Yang terakhir, tersingkirnya Indonesia menuju semi final piala AFF 2012 yang berlangsung di Malaysia dan Thailand. Track Record timnas sendiri diajang AFF kali ini bias dikatakan buruk. Bermain seri melawan Laos yang dua tahun lalu dihajar Indonesia di Gelora Bung Karno dengan enam gol tanpa balas. Kemudian menang tipis 1-0 saat mengandaskan 10 pemain Singapura. Sebenarnya pada laga pamungkas melawan Malaysia, timnas hanya butuh seri, tapi apa daya Harimau Malaya menginjak-injak Indonesia dengan gelontoran 2 gol tanpa balas.
Diajang internal sendiri sepakbola Indonesia dalam kondisi kelam. Tarik ulur antara liga yang sah dan tidak sah. Kemudian jadwal liga yang berantakan ditopang dengan keungan sebagian klub yang sangat buruk. Alhasil kasus penunggakan gaji seperti yang dialami Diego Mendieta menjadi hal ihwal yang wajar.
Jika para petinggi sepakbola Indonesia masih menunjukkan ego masing- masing dan membuat otoritas FIFA geram. Harusnya pemerintah segera turun tangan menyelesaikan masalah ini, kalau perlu tegas. Ditinjau dari strata hierarkisnya PSSI berada di bawah KONI yang menaungi seluruh organisasi olahraga di Indonesia. Diatasnya KONI bernaung pemerintah dalam panji-panji Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Ya, dengan konsekuensi FIFA akan memberikan sanksi jika pemerintah disebut melakukan intervensi. Tapi setidaknya sanksi selama 1-3 tahun menajdi hal yang patut disyukuri jika sanksi itu menjadi sumbu awal pembenahan sepkabola Indonesia. Dan akhirnya, kelak suatu saat nanti tidak akan timbul masalah penunggakan gaji. Tidak timbul Mendieta- Mendieta lain. Di Dalam hati saya masih percaya bahwa kelak Indonesia akan kembali jaya !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar