Jumat, 08 April 2016

Soto Dwi Windu, di Sabtu Pagi


Jumat malam, gawai saya bergetar.  Ternyata ada pesan melalui aplikasi Telegram saya. Pesan itu dari pacar saya, dia mengajak saya untuk berkunjung ke kebun buah naga di pantai Pandansari Bantul. Tanpa pikir panjang plus sebagai lelaki yang takut pacar saya menyanggupinya, Tentunya jika pacar saya mendapatkan jawaban yang tidak ia inginkan akan terjadi “Civil Wars” yang maha dahsyat. Dengan hasil kekalahan telak dipihak saya. Lha Wong saya, bagian dari komunitas “laki-laki takut pacar” Capter Jogja. Sontak langsung saya jawab singkat padat jelas, “Iya sayang, Siap.” Dengan emoticon cium.
Sabtu pagi saya jemput dia, sekiranya pukul 06.00 WIb. Kami berangkat lebih pagi dengan harapan udara pantai dipagi hari tidak terlalu menyengat kulit. Kami pun memacu sepeda motor melintasi aspal jalan Bantul yang masih begitu lengang, belum penuh dengan kendaraan. Dalam perjalanan, setelah melewati perempatan Masjid Agung Bantul, karena kami belum sarapan saya belokan sepeda motor menuju lapangan Dwi Windu bantul untuk sarapan soto. Karena bagi kami sarapan itu bagian hal terpenting untuk menjaga mood pacar saya yang galak itu.
Soto Dwi Windu saya menyebutnya. Ya karena letaknya di area lapangan kebanggaan masyarakat Bantul. Bukan karena warungya telah berusia 16 tahun, apalagi karena menghidangkan satu mangkuk soto butuh waktu dua windu, hehehe. Warung ini berdiri dengan tenda deklit, bukan sebuah warung dengan bangunan yang permanen. Gerobaknya pun menggunakan roda yang bisa didorong. Pagi itu, warung lumayan sepi.  Hanya ada  dua orang bapak-bapak pembeli yang sedang bercakap ria disebelah meja kami. Mereka kelihatannya sudah selesai makan, hal itu terlihat dari mangkuk dan gelas es yang sudah kosong.

Saya memesan dua porsi soto ayam dan wedang jeruk hangat. Dalam benak saya soto ayam dan wedang jeruk hangat menjadi per[aduan yang sempurna di pagi yang cukup dingin kala itu. Tak berapa lama pesanan kami datang. Saya adalah penikmat soto dengan perasan jeruk nipis yang cukup banyak dan nir kecap. Perasan Jeruk nipis tersebut memberikan rasa segar pada kuah soto yang berminyak. Tentunya tak lupa menambah dua tahu susur. Maklum seporsi soto belum mampu mengenyangkan perut. Perbandingannya mirip seperti teori membuat Indomie goreng, satu bungkus kurang, dua bungkus kelebihan. Maka dengan mengambil alternatif dua tahu susur adalah win - win solution.
Berbeda dengan pacar saya, Dia adalah makhluk penganut soto dengan kecap yang begitu kental. Saya pernah mencicipi kuah sotonya, rasa terlalu manis. Tapi saya berpikiran positif, mungkin itu yang membuatnya tampil menjadi seorang gadis manis yang mampu memikat saya selama 5 tahun terakhir.
****
Soto Dwi Windu ini bagi saya enak dan pas di lidah maupun dikantong. Enak dan pas di lidah karena penjualnya menghadirkan sajian soto dengan kuah yang tak begitu kental. Enak dan pas di lidah yang kedua dikarenakan tempat ini menyimpan romatisme masa lalu. Kala SMA sekiranya 7  tahun yang lalu hingga lulus kuliah, tempat ini rutin saya kunjungi setiap Minggu Kliwon selepas berburu unggas di Pasar Bantul. Setelah lulus kuliah dan memiliki kesibukan lain, saya menjadi jarang mengunjungi warung ini, seingat saya terakhir satu tahun yang lalu.
 Memang benar sebuah kenikmatan bukan hanya tergantung pada rasa, tapi melainkan sebuah kenangan masa lalu yang begitu indah. Bagi saya itu termasuk sebuah kenikmatan rasa yang hakiki. Warung soto Dwi Windu ibarat gardu penjaga kenangan pribadi saya. Tak berlebihan. Walaupun daging ayamnya daging ayam potong biasa.
Murah bagi saya, ya memang murah. Dengan menu dua mangkuk soto ayam, dua wedang jeruk anget, dan dua tahu susur. Saya hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp. 15.000,- . Murah, kan ? Kalau tak percaya silakan mencoba warung ini.
Tak terasa semangkuk soto ayam dihadapan saya telah paripurna, pun dengan segelas wedang jeruk hangat. Saya meilirik sebelah kanan, pacar juga sudah menyelesaiakn santapannya. Tiba saatnya waktu untuk membayar seluruh makanan. Dan kami saling memadang, sekiranya menunggu siapa yang pertama mendatangi penjual untuk membayar. Saya menahan langkah, dengan tujuan biar pacar saya yang membayar. Maklum nanti saya pasti yang mengisi bensin. Akhirnya setelah beberapa detik saling diam dia yang berinisiatif membayar dengan terpaksa. Hingga akhirnya dalam perjalanan menuju pantai pecahlah pertengkaran dijalan akibat siapa yang harus membayar soto tadi. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar