- LATAR BELAKANG
Mataram
Islam sebagai salah satu kerajaan kuat yang tumbuh di Pulau Jawa
memang tak terlepas dari gejolak konflik. Kerajaan ini mengalami
berbagai macam konflik dan dinamika yang terjadi di dalam keraton
maupun konflik dengan kelompok yang berdiri di luar tembok keraton.1
Dalam perjalanan sejarah yang penuh dengan gejolak, Mataram
memantabkan diri sebagai sebuah kerajaan yang berideologi Islam yang
sangat kuatb dalam segala aspek kehidupannya. Kedudukan Mataram
sebagi sebuah entitas politik yang mendapat pengaruh unsur Islam yang
kuat dilegitimasikan melalui gelar rajanya, yang salah satunya
berbunyi Sayidin Panatagama. 2
Dari
segi arsitektur bangunan keraton sendiri, unsur kebudayaan Islam
terlihat sangat mencolok dan juga melekat kuat sehingga semakin
mengkukuhkan bahwa Mataram merupakan sebuah kerajaan yang berideologi
Islam . Keraton dalam konsep kosmologis3
direfleksikan sebagai pusat segalanya (mikrokosmos) dan bidang
kebudayaan Islam. Unsur Islam yang sangat kuat itu terlihat dan
dibuktikan dengan adanya bangunan Masjid yang berada di dekat area
keraton. Masjid di area keraton ini bernama Masjid Gede Kauman, di
dalam kompleks keraton Kasultanan Yogyakarta Adiningrat, Masjid Gede
Kauman dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I tahun 1773
Masehi.
Awal
dari suatu proses panjang yang kemudian menghadirkan perang besar
yang dikenal dengan sebutan perang Dipanagara atau oleh Pemerintahan
kolonial Belanda disebut sebgai Perang Jawa adalah ketika
diputuskannya Perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti sendiri sering
disebut sebagai Palihan Nagari yang diputuskan di desa
Giyanti pada tanggal 13 Februari 1775 yang berarti dalam penanggalan
Jawa menunjukkan tanggal 29 Rabiul Akir 1680.4
Efek yang ditimbulkan dari perjanjian ini adalah pecahnya Mataram
menjadi dua entitas politik yang berbeda . Pecahnya Mataram tersebut
menghadirkan Kasunanan Surakarta Adiningrat dan Kasultanan Yogyakarta
Adiningrat.
Ternyata
setelah perjanjian Giyanti disepakati, permasalahan yang berkutat
pada konflik intern keraton belum juga usai. Raden Mas Said meminta
jatah kekuasaan melalui perjanjian Salatiga. Dalam perjanjian itu
diputuskan bahawa Raden Mas Said memperoleh bagian kekuasaan dari
sebagian wilayah Kasunanan Surakarta Adiningrat dan bergelar sebagai
Adipati Mangkunegara. Selanjutnya kasultanan Yogyakarta Adiningrat
pun tidak terlepas dari gejolak yang tak terlepas dari
gonjang-ganjing perpecahan kekuasaan. Kasultanan Yogyakarta mengalami
perpecahan ketika Pulau Jawa di duduki oleh Inggris, sehingga pada
tahun 1812 sebagian dari wilayah Kasultanan Yogyakarta Adiningrat
harus dilimpahkan kepada Pangeran Natakusumo. Selanjutnya pangeran
Natakusumo bergelar Adipati Paku Alam.
Perang
Dipanagara sebagai hasil dari proses panjang pengaruh panji-panji
pemerintahan kolonial diwilayah Jawa terutama Kasultanan Yogyakarta
Adiningrat. Peristiwa tersebut merupakan salah satu peristiwa yang
sangat menentukan bagi sejrah pulau Jawa. Perang yang berlangsung
pada tahun 1825 hingga 1830 ini dikobarkan oleh pangeran
Dipanagara-makanya peristiwa ini disebut sebagai perang Dipanagara.5
Dalam perang ini resistensi Dipanagara ditujukan kepada Kasultanan
Yogyakrta maupun orang-orang yang beraliansi dengan pemerintahan
kolonial . Perang ini berbea dengan perang-perang suksesi kekuasaan
kerajaan Mataram yang umumnya terjadi, yang menunjukan sebuah konflik
intern kerajaan.
Perang
DIpanagara juga merupakan sebuah perang atau peristiwa yang
memisahkan zaman ancient regime kekuasaan tradisional
raja-raja Jawadengan zaman colonial penuh. Ketika Dipanagara berhasil
di tangkap pada tahun1830 di Magelang, maka pemerintah kolonial
seakan merasa sah menguasai Jawa.6
- POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan
uraian yang tertuang pada latar belakang, pokok permasalahan yang
menjadi pondasi dan kerangka pembatas dalam penulisan ini adalah
seluk beluk sebuah konflik besar yang terjadi di pulau Jawa bagian
tengah dan timur (dilihat secara perspektif geografis). Pembatasan
skup temporal berkisar pada Tahun 1825-1830, karena sebuah penulisan
sejarah tidak bisa dijaukan dari lingkup spasial dan temporal.
Dari
keterangan diatas muncul pertanyaan pokok mengenai apa saja faktor
penyebab dari meletusnya perang jawa? dan bagaimana unsur agama mampu
mempengaruhi jalannya Perang Dipanagara? Karena Dipanagara merupakan
sosok yang memilki pengetahuan agama yang kuat. Hal itu terungkap
pada bait-bait babadnya yang ditulis di Manado antara bulan Mei 1831
hingga Februari 1832, antara lain berbunyi :
Mapan
kathah kang akaraseng galih
Ing
tingkah kadudon
Pang
mangkana ing tyas panghestine
Kaya
paran solahipun
Yen
tan ana ugi
Apura
Yang Agung
Lara-wirang
pan wus sunlakoni
Ngingpanuhuningoang
Ingkang
kari lan kang dhingin kabeh
Kulawarga
kangngestokken yekti
Mring
agama Nabi
Oleh
apituhung
- PEMBAHASAN
Periode
tahun 1755 hingga 1800 ditandai dengan kemakmuran ekonomi dan
politik yang tejadi di kerajaan ex-Mataram. Istana di Surakarta lebih
banyak mendapatkan kebebasan ketika kekuasaan VOC meredup.Penduduk
Jawa bertambah dengan peast seiring dengan tidak adanya kondisi
paceklik dan wabah penyaki yang menyerang. Kan tetapi setelah tahun
1800 terjadi kondisi yang berubah hampir berkebalikan, selain itu
muncul sederatan kondisi yang mampu memotivasi terjadinya perang
jawa.
Sebab-sebab
yang mendorong terjadinya perang Jawa dapat ditunjukan menjadi 3 hal
mendasar. Yang pertama, sejak tahun 1800 munculnya kekuatan kolonial
yang melakukan penetrasi kedalam Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta dan berusaha memperkuat hegemoninya. Hal yang sensifit
muncul ketika pada tahun 1808 Letnan Gubernur Jendral H.W Deandels
memutuskan sebuah peraturan yang dipandang dari subyekitifas
oaring-oarang jawa sangat menghina.7
Peratuaran itu berbunyi bahwa residen Eropa tidak harus menunjukan
bahwa kedudukan mereka lebih rendah dari penguasa lokal.
Pada
Tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara jawa dianeksasi
tidak lagi diberlakukan, kemudian atas perintah T.S Raffles,
Kasultanan Yogyakarta diserang. Hal itu menagakibatkan Kasultanan
Yogyakarta meneyerah pada perjanjian kedu dan mengakibtkan
dipungutnya pajak atas pasar dan jalan raya.
Pada
tahun 1823 Van der Capellen melarang para bangsawan Jawa untuk
menyewakan tanah meraka kepada pemilik modal asing, hal ini
mengakibatkan para bangsawan jawa harus mencari sumber penghasilan
lain dan hal itu memperburuk kondisi finansial mereka. Pada tahun
1825 , kembali terjadi penggerogotan wilayah yang berada di pesisir
utara Jawa, sebagai imbalan atas kompensasi finansial.
Hal
ini mengakibatkan para penguasa Jawa menjadi tersinggung oleh
tindakan-tindakan orang-orang Eropa. Kasunanan Surakarta akhirnya
mengambil tindkan yang kooperatif dengan kubu Kolonial. Sementara
kubu Kasultanan Yogyakrta masih tetap melakukan sebuah kondisi yang
berlawanan dengan Kasunanan Surakarta. Walaupun resistensi itu
ditunjukan oleh Hamengkubuwono II dengan cara tetap duduk lebih
tinggi dari pada para “duta Eropa”. Walaupun masihjarang terjadi
sebuah kondisi yang berwujud reaksi-reaksi langsung dan bersifat
frontal.
Ditahun-tahun
menjelang terjadinya Perang Jawa, sikap para pejabat Belanda
menunjukan perilaku yang arogan dan kurang ajar. Chevallier meminta
pelayanan seksual dari wanita-wanita keraton. Pada Tahun 1820
pemerintah kolonial berupaya untuk menganeksasi kerajaan Kasultanan
Yogyakarta baik secara keseluruhan maupun sebagian. Secara bersambung
pemerintahan Kolonial juga merencanakan sistem sewa tanah kepada
kedua kerajaan itu. Protes pun muncul dari kalangan Eropa sendiri.
Pada tahun 1821 pejabat residen Solo Nahuys van Burgst meberikan
sebuah tentangan, karena beberapa peristiwa yang terjadi seperti
pemberontakan di Ambon pada tahun 1817 dan Palembang pada tahun 1818
hingga 1819 menunjukan akibat yang fatal terhadap kondisi yang
seperti itu. Periode ini oleh orang jawa disebut sebagai masa
Kala Bendhu .
Faktor
kedua yang menyebabkan pecahnya Peran Jawa meliputi kondisi yang
terjadi didalam keraton Yogyakarta sendiri. Pertentangan pribadi dari
para pemangku dan pengampu Sultan Hamengkubuwana V yang masih kecil
terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu
(Ibu Hamnegkubuwana IV) dan Ratu Kencana (Ibu Hamengkubuwana V) yang
berada dibawah pengaruh patih Danureja IV. Pihak opisisi terdiri dari
Dipanagara (sebagai putra tertua Hamengkubuwana III) dan pamannya ,
pangeran Mangkubumi.
Mengenai
intensitas dan lamanya peristiwa Perang Jawa yang terjadi harus
melihat berbagi macam penyebab. Kondisi rakyat yang berada dalam masa
kesusahan karena beban pajak yang tak sebanding dengan produktivitas
sawah mengakibatkan kondisi yang buruk terhadap perekonomian rakyat.
Selain para petani yang dirugikan , kondisi para ulama muslimpun juga
ikut terkena imbas. Hal tersebut dikarenakan para ulama muslim hidup
dari perdagangan kecil-kecilan.
Berbagai
penjelasan mengenai masalah-maslah yang timbul sebelum Perang Jawa
bergejolak tersebut menandakan bahwa Dipanagara mendapat dukungan
dari berbagai macam elemen masyarakat baik itu berada dari dalam
Istana maupun luar istana. Kemampuan orasi Dipanagara juga mampu
membuat rakyat mendukung perjuangan Dipanagara. Mobilisasi mereka
mengakibatkan terjadinya sebuah perlawanan yang besar dan belum
pernah terjadi di Jawa.
Perang
Jawa ini mengakibatkan Belanda pada posisi yang sangat sulit. Ketika
perang pecah pertahanan Belanda di Jawa kekurangan tentara, akibat
dilakukannya ekspedisi militer ke Bone (Sulawesi). Belanda bahkan tak
mampu menyerang, bertahan saja dalam kondisi ini meraka tidak bisa.
Selama perang belanda berusaha meminta bantuan dari pasukan yang
terdiri dari orang-orang pribumi dan Asia lainnya. Bantuan itu
ddatangkan dari Madura, Bali, Buton, Ternate, dan Manado.
Dalam
perang ini pasukan Dipanagara melakukan taktik benteng. Yaitu beruapa
taktik penyerangan kecil-kecilan dan kemudian bersembunyi untuk
bertahan. Pertempuran di bagian pesisir utara lebih sedikit terjadi
secara intensitasnya. Dalam pecahnya perang Jawa Dipanagara bergelar
Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning
Jawa Kalifat Rasulullah. Pada saat itu pula Dipanagara
mengemukakan tujuannya untuk mendirikan sebuah entitas polotik Islam.
Orang-orang
Belanda pun mengakui bahwa daya tarik agama sangat kuat dalam Perang
Jawa. Upaya perang yang sejak awal mengambil aspek Perang sabil
melawan Belanda dan orang-orang yang berkerjasama dengan Belanda.
Watak keagamaan perang yang disebutkan itulah salah satu penyebab
Menteri Wilayah Jajahan Belanda C. Th. Elout menolak saran para
pejabat Belanda agar perang diakhiri dan mengakui Dipanagara sebagai
pangeran yang merdeka.
KESIMPULAN
Perang
Jawa yang berkecamuk pada tahun 1825-1830 merupakan sebuah masa
dimana merupakan pembatas dari zaman yang di sebut sebagai
ancient regime penguasa lokal dengan kekuasaan Kolonial penuh.
Hal tersebut disebabkan oleh berbagai macam faktor yang kompleks.
Penyebab Perang Jawa antara lain kondisi ekonomi masyarakat Jawa yang
sedang terpuruk dengan tingginya pajak yang tak sesuai dengan
produktifitas sawah. Penyebab lain adalah dimana Belanda mulai
menancapkan hegemoninya terhadap istana Yogyakarta yang mebuat
kalangan istana menjadi geram, kemudian masalah yang menyangkut
persoalan emosional penggeseran makam leluhur Dipangara juga ikut
andil dalam menyebabkan perang Jawa.
Daya
tarik agama juga merupakan factor yang menyebabkan perang Jawa
menjadi sangat heroik. Ketika dalam perang, Dipanagara mengemukakan
bahwa perang ini ditujukan untuk sebuah cita-cita luhur berdirinya
Negara Islam yang merdeka tanpa campur tangan Belanda. Di dala
perang, Dipanagara menggunakan gelar Sultan Ngabdulkamid Erucakra
Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah .
Gelar itu menunjukan bahwa Dipangara merupakan Raja yang ditugaskan
Allah untuk menata Agama (dalam hal ini Islam. Selain itu basic
Dipanagara kecil yang dibesarkan dalam lingkungan pendidikan islam
yang kuat merupakan awal pembentukan sifat religiusnya. Kemampuan
orasi Dipanagara juga mampu menarik dan memobilisasi masa dalam
perlawanan terhadap belanda. Kemampuan orasi tersebut tidak hanya
mampu memobilisasi elite- elite keraton tetapi juga masyarakat umum
dari segala aspek untuk bergerak melawan Belanda.
DAFTAR PUSTAKA :
Carey, Peter, Asal
Usul Perang Jawa, Yogyakarta : LKiS, 2001
---------------,
Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo, Jakarta :
Pustaka Azet, 1985
Hoadley, Mason,
Islam dalam Tradisi Hukum Jawa & Hukum Kolonial, Yogyakarta
: Grha Ilmu, 2009
Houben, Vincent,
Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, Yogyakarta
: Bentang,2002
P Swantoro,
Dari Buku ke Buku Sambung menyambung Menjadi Satu, Jakarta :
KPG,2002
Ricklefs, M C,
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2008
Ridin Soewan dkk,
Islamisasi di Jawa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Stockdale ,John J,
Eksotisme Jawa, Yogyakarta : Progresif Book,2010
1
Di sini yang dimaksud dengan di luar tembok keraton adalah
konflik-konflik yang terjadi dengan kubu pemerintahan kolonial
ataupun sebuah resistensi dengan kelompok pemberontak yang
merongrong kedaulatan kerajaan.
2 Sayidin
Panatagama merupakan gelar yang memiliki makna bahwa seorang raja
kerajaan Mataram merupakan sosok khalifah yang diutus Allah untuk
menegakan syariat agama (Islam) di muka bumi atau sosok penata
agama.
3
Konsep kosmologis ini di populerkan oleh Behrend yang
menyatakan bahwa keraton menjadi sebuah titik pusat konsentrasi
aspek-aspek kehidupan. Teori ini sama ketika kerajaan Mataram awal
menganut ideologi Hindhu Budha.
4
Kota Yogyakarta 200 Tahun, (Yogyakarta
: Sub Panitia Penerbitan Kota Yogyakarta 200 Tahun, 1956), Hal 17-22
5
Dipanagara lahir pada hari Jumat Wage, 7 Muharram
(Sura), tahun Jawa atau dalam kalender Masehi tepatnya pada 11
November 1785. Dipangara merupakan anak dari HamengkuBuwana III,
ibunya bernama Raden Ayu Mangkarawati yang merupakan isteri tidak
resmi atau dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Garwa
Ampeyan.
6 Asal
Usul Perang Jawa, (Yogyakarta : Lkis Pelangi
Aksara, 2004), hal v-x
7
Keraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta
1830-1870 , ( Yogyakarta: Bentang,2002) hal
19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar