Selasa, 19 Februari 2013

Sekilas Tentang Perang Jawa

  1. LATAR BELAKANG
Mataram Islam sebagai salah satu kerajaan kuat yang tumbuh di Pulau Jawa memang tak terlepas dari gejolak konflik. Kerajaan ini mengalami berbagai macam konflik dan dinamika yang terjadi di dalam keraton maupun konflik dengan kelompok yang berdiri di luar tembok keraton.1 Dalam perjalanan sejarah yang penuh dengan gejolak, Mataram memantabkan diri sebagai sebuah kerajaan yang berideologi Islam yang sangat kuatb dalam segala aspek kehidupannya. Kedudukan Mataram sebagi sebuah entitas politik yang mendapat pengaruh unsur Islam yang kuat dilegitimasikan melalui gelar rajanya, yang salah satunya berbunyi Sayidin Panatagama. 2
Dari segi arsitektur bangunan keraton sendiri, unsur kebudayaan Islam terlihat sangat mencolok dan juga melekat kuat sehingga semakin mengkukuhkan bahwa Mataram merupakan sebuah kerajaan yang berideologi Islam . Keraton dalam konsep kosmologis3 direfleksikan sebagai pusat segalanya (mikrokosmos) dan bidang kebudayaan Islam. Unsur Islam yang sangat kuat itu terlihat dan dibuktikan dengan adanya bangunan Masjid yang berada di dekat area keraton. Masjid di area keraton ini bernama Masjid Gede Kauman, di dalam kompleks keraton Kasultanan Yogyakarta Adiningrat, Masjid Gede Kauman dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I tahun 1773 Masehi.
Awal dari suatu proses panjang yang kemudian menghadirkan perang besar yang dikenal dengan sebutan perang Dipanagara atau oleh Pemerintahan kolonial Belanda disebut sebgai Perang Jawa adalah ketika diputuskannya Perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti sendiri sering disebut sebagai Palihan Nagari yang diputuskan di desa Giyanti pada tanggal 13 Februari 1775 yang berarti dalam penanggalan Jawa menunjukkan tanggal 29 Rabiul Akir 1680.4 Efek yang ditimbulkan dari perjanjian ini adalah pecahnya Mataram menjadi dua entitas politik yang berbeda . Pecahnya Mataram tersebut menghadirkan Kasunanan Surakarta Adiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Adiningrat.
Ternyata setelah perjanjian Giyanti disepakati, permasalahan yang berkutat pada konflik intern keraton belum juga usai. Raden Mas Said meminta jatah kekuasaan melalui perjanjian Salatiga. Dalam perjanjian itu diputuskan bahawa Raden Mas Said memperoleh bagian kekuasaan dari sebagian wilayah Kasunanan Surakarta Adiningrat dan bergelar sebagai Adipati Mangkunegara. Selanjutnya kasultanan Yogyakarta Adiningrat pun tidak terlepas dari gejolak yang tak terlepas dari gonjang-ganjing perpecahan kekuasaan. Kasultanan Yogyakarta mengalami perpecahan ketika Pulau Jawa di duduki oleh Inggris, sehingga pada tahun 1812 sebagian dari wilayah Kasultanan Yogyakarta Adiningrat harus dilimpahkan kepada Pangeran Natakusumo. Selanjutnya pangeran Natakusumo bergelar Adipati Paku Alam.
Perang Dipanagara sebagai hasil dari proses panjang pengaruh panji-panji pemerintahan kolonial diwilayah Jawa terutama Kasultanan Yogyakarta Adiningrat. Peristiwa tersebut merupakan salah satu peristiwa yang sangat menentukan bagi sejrah pulau Jawa. Perang yang berlangsung pada tahun 1825 hingga 1830 ini dikobarkan oleh pangeran Dipanagara-makanya peristiwa ini disebut sebagai perang Dipanagara.5 Dalam perang ini resistensi Dipanagara ditujukan kepada Kasultanan Yogyakrta maupun orang-orang yang beraliansi dengan pemerintahan kolonial . Perang ini berbea dengan perang-perang suksesi kekuasaan kerajaan Mataram yang umumnya terjadi, yang menunjukan sebuah konflik intern kerajaan.
Perang DIpanagara juga merupakan sebuah perang atau peristiwa yang memisahkan zaman ancient regime kekuasaan tradisional raja-raja Jawadengan zaman colonial penuh. Ketika Dipanagara berhasil di tangkap pada tahun1830 di Magelang, maka pemerintah kolonial seakan merasa sah menguasai Jawa.6


  1. POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian yang tertuang pada latar belakang, pokok permasalahan yang menjadi pondasi dan kerangka pembatas dalam penulisan ini adalah seluk beluk sebuah konflik besar yang terjadi di pulau Jawa bagian tengah dan timur (dilihat secara perspektif geografis). Pembatasan skup temporal berkisar pada Tahun 1825-1830, karena sebuah penulisan sejarah tidak bisa dijaukan dari lingkup spasial dan temporal.
Dari keterangan diatas muncul pertanyaan pokok mengenai apa saja faktor penyebab dari meletusnya perang jawa? dan bagaimana unsur agama mampu mempengaruhi jalannya Perang Dipanagara? Karena Dipanagara merupakan sosok yang memilki pengetahuan agama yang kuat. Hal itu terungkap pada bait-bait babadnya yang ditulis di Manado antara bulan Mei 1831 hingga Februari 1832, antara lain berbunyi :
Mapan kathah kang akaraseng galih
Ing tingkah kadudon
Pang mangkana ing tyas panghestine
Kaya paran solahipun
Yen tan ana ugi
Apura Yang Agung

Lara-wirang pan wus sunlakoni
Ngingpanuhuningoang
Ingkang kari lan kang dhingin kabeh
Kulawarga kangngestokken yekti
Mring agama Nabi
Oleh apituhung

  1. PEMBAHASAN

Periode tahun 1755 hingga 1800 ditandai dengan kemakmuran ekonomi dan politik yang tejadi di kerajaan ex-Mataram. Istana di Surakarta lebih banyak mendapatkan kebebasan ketika kekuasaan VOC meredup.Penduduk Jawa bertambah dengan peast seiring dengan tidak adanya kondisi paceklik dan wabah penyaki yang menyerang. Kan tetapi setelah tahun 1800 terjadi kondisi yang berubah hampir berkebalikan, selain itu muncul sederatan kondisi yang mampu memotivasi terjadinya perang jawa.
Sebab-sebab yang mendorong terjadinya perang Jawa dapat ditunjukan menjadi 3 hal mendasar. Yang pertama, sejak tahun 1800 munculnya kekuatan kolonial yang melakukan penetrasi kedalam Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dan berusaha memperkuat hegemoninya. Hal yang sensifit muncul ketika pada tahun 1808 Letnan Gubernur Jendral H.W Deandels memutuskan sebuah peraturan yang dipandang dari subyekitifas oaring-oarang jawa sangat menghina.7 Peratuaran itu berbunyi bahwa residen Eropa tidak harus menunjukan bahwa kedudukan mereka lebih rendah dari penguasa lokal.
Pada Tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara jawa dianeksasi tidak lagi diberlakukan, kemudian atas perintah T.S Raffles, Kasultanan Yogyakarta diserang. Hal itu menagakibatkan Kasultanan Yogyakarta meneyerah pada perjanjian kedu dan mengakibtkan dipungutnya pajak atas pasar dan jalan raya.
Pada tahun 1823 Van der Capellen melarang para bangsawan Jawa untuk menyewakan tanah meraka kepada pemilik modal asing, hal ini mengakibatkan para bangsawan jawa harus mencari sumber penghasilan lain dan hal itu memperburuk kondisi finansial mereka. Pada tahun 1825 , kembali terjadi penggerogotan wilayah yang berada di pesisir utara Jawa, sebagai imbalan atas kompensasi finansial.
Hal ini mengakibatkan para penguasa Jawa menjadi tersinggung oleh tindakan-tindakan orang-orang Eropa. Kasunanan Surakarta akhirnya mengambil tindkan yang kooperatif dengan kubu Kolonial. Sementara kubu Kasultanan Yogyakrta masih tetap melakukan sebuah kondisi yang berlawanan dengan Kasunanan Surakarta. Walaupun resistensi itu ditunjukan oleh Hamengkubuwono II dengan cara tetap duduk lebih tinggi dari pada para “duta Eropa”. Walaupun masihjarang terjadi sebuah kondisi yang berwujud reaksi-reaksi langsung dan bersifat frontal.
Ditahun-tahun menjelang terjadinya Perang Jawa, sikap para pejabat Belanda menunjukan perilaku yang arogan dan kurang ajar. Chevallier meminta pelayanan seksual dari wanita-wanita keraton. Pada Tahun 1820 pemerintah kolonial berupaya untuk menganeksasi kerajaan Kasultanan Yogyakarta baik secara keseluruhan maupun sebagian. Secara bersambung pemerintahan Kolonial juga merencanakan sistem sewa tanah kepada kedua kerajaan itu. Protes pun muncul dari kalangan Eropa sendiri. Pada tahun 1821 pejabat residen Solo Nahuys van Burgst meberikan sebuah tentangan, karena beberapa peristiwa yang terjadi seperti pemberontakan di Ambon pada tahun 1817 dan Palembang pada tahun 1818 hingga 1819 menunjukan akibat yang fatal terhadap kondisi yang seperti itu. Periode ini oleh orang jawa disebut sebagai masa Kala Bendhu .
Faktor kedua yang menyebabkan pecahnya Peran Jawa meliputi kondisi yang terjadi didalam keraton Yogyakarta sendiri. Pertentangan pribadi dari para pemangku dan pengampu Sultan Hamengkubuwana V yang masih kecil terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (Ibu Hamnegkubuwana IV) dan Ratu Kencana (Ibu Hamengkubuwana V) yang berada dibawah pengaruh patih Danureja IV. Pihak opisisi terdiri dari Dipanagara (sebagai putra tertua Hamengkubuwana III) dan pamannya , pangeran Mangkubumi.
Mengenai intensitas dan lamanya peristiwa Perang Jawa yang terjadi harus melihat berbagi macam penyebab. Kondisi rakyat yang berada dalam masa kesusahan karena beban pajak yang tak sebanding dengan produktivitas sawah mengakibatkan kondisi yang buruk terhadap perekonomian rakyat. Selain para petani yang dirugikan , kondisi para ulama muslimpun juga ikut terkena imbas. Hal tersebut dikarenakan para ulama muslim hidup dari perdagangan kecil-kecilan.
Berbagai penjelasan mengenai masalah-maslah yang timbul sebelum Perang Jawa bergejolak tersebut menandakan bahwa Dipanagara mendapat dukungan dari berbagai macam elemen masyarakat baik itu berada dari dalam Istana maupun luar istana. Kemampuan orasi Dipanagara juga mampu membuat rakyat mendukung perjuangan Dipanagara. Mobilisasi mereka mengakibatkan terjadinya sebuah perlawanan yang besar dan belum pernah terjadi di Jawa.
Perang Jawa ini mengakibatkan Belanda pada posisi yang sangat sulit. Ketika perang pecah pertahanan Belanda di Jawa kekurangan tentara, akibat dilakukannya ekspedisi militer ke Bone (Sulawesi). Belanda bahkan tak mampu menyerang, bertahan saja dalam kondisi ini meraka tidak bisa. Selama perang belanda berusaha meminta bantuan dari pasukan yang terdiri dari orang-orang pribumi dan Asia lainnya. Bantuan itu ddatangkan dari Madura, Bali, Buton, Ternate, dan Manado.
Dalam perang ini pasukan Dipanagara melakukan taktik benteng. Yaitu beruapa taktik penyerangan kecil-kecilan dan kemudian bersembunyi untuk bertahan. Pertempuran di bagian pesisir utara lebih sedikit terjadi secara intensitasnya. Dalam pecahnya perang Jawa Dipanagara bergelar Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah. Pada saat itu pula Dipanagara mengemukakan tujuannya untuk mendirikan sebuah entitas polotik Islam.
Orang-orang Belanda pun mengakui bahwa daya tarik agama sangat kuat dalam Perang Jawa. Upaya perang yang sejak awal mengambil aspek Perang sabil melawan Belanda dan orang-orang yang berkerjasama dengan Belanda. Watak keagamaan perang yang disebutkan itulah salah satu penyebab Menteri Wilayah Jajahan Belanda C. Th. Elout menolak saran para pejabat Belanda agar perang diakhiri dan mengakui Dipanagara sebagai pangeran yang merdeka.
  1. KESIMPULAN


Perang Jawa yang berkecamuk pada tahun 1825-1830 merupakan sebuah masa dimana merupakan pembatas dari zaman yang di sebut sebagai ancient regime penguasa lokal dengan kekuasaan Kolonial penuh. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai macam faktor yang kompleks. Penyebab Perang Jawa antara lain kondisi ekonomi masyarakat Jawa yang sedang terpuruk dengan tingginya pajak yang tak sesuai dengan produktifitas sawah. Penyebab lain adalah dimana Belanda mulai menancapkan hegemoninya terhadap istana Yogyakarta yang mebuat kalangan istana menjadi geram, kemudian masalah yang menyangkut persoalan emosional penggeseran makam leluhur Dipangara juga ikut andil dalam menyebabkan perang Jawa.
Daya tarik agama juga merupakan factor yang menyebabkan perang Jawa menjadi sangat heroik. Ketika dalam perang, Dipanagara mengemukakan bahwa perang ini ditujukan untuk sebuah cita-cita luhur berdirinya Negara Islam yang merdeka tanpa campur tangan Belanda. Di dala perang, Dipanagara menggunakan gelar Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah . Gelar itu menunjukan bahwa Dipangara merupakan Raja yang ditugaskan Allah untuk menata Agama (dalam hal ini Islam. Selain itu basic Dipanagara kecil yang dibesarkan dalam lingkungan pendidikan islam yang kuat merupakan awal pembentukan sifat religiusnya. Kemampuan orasi Dipanagara juga mampu menarik dan memobilisasi masa dalam perlawanan terhadap belanda. Kemampuan orasi tersebut tidak hanya mampu memobilisasi elite- elite keraton tetapi juga masyarakat umum dari segala aspek untuk bergerak melawan Belanda.



























DAFTAR PUSTAKA :
Carey, Peter, Asal Usul Perang Jawa, Yogyakarta : LKiS, 2001
---------------, Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo, Jakarta : Pustaka Azet, 1985
Hoadley, Mason, Islam dalam Tradisi Hukum Jawa & Hukum Kolonial, Yogyakarta : Grha Ilmu, 2009
Houben, Vincent, Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, Yogyakarta : Bentang,2002
P Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung menyambung Menjadi Satu, Jakarta : KPG,2002
Ricklefs, M C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2008
Ridin Soewan dkk, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Stockdale ,John J, Eksotisme Jawa, Yogyakarta : Progresif Book,2010

1 Di sini yang dimaksud dengan di luar tembok keraton adalah konflik-konflik yang terjadi dengan kubu pemerintahan kolonial ataupun sebuah resistensi dengan kelompok pemberontak yang merongrong kedaulatan kerajaan.

2 Sayidin Panatagama merupakan gelar yang memiliki makna bahwa seorang raja kerajaan Mataram merupakan sosok khalifah yang diutus Allah untuk menegakan syariat agama (Islam) di muka bumi atau sosok penata agama.

3 Konsep kosmologis ini di populerkan oleh Behrend yang menyatakan bahwa keraton menjadi sebuah titik pusat konsentrasi aspek-aspek kehidupan. Teori ini sama ketika kerajaan Mataram awal menganut ideologi Hindhu Budha.

4 Kota Yogyakarta 200 Tahun, (Yogyakarta : Sub Panitia Penerbitan Kota Yogyakarta 200 Tahun, 1956), Hal 17-22

5 Dipanagara lahir pada hari Jumat Wage, 7 Muharram (Sura), tahun Jawa atau dalam kalender Masehi tepatnya pada 11 November 1785. Dipangara merupakan anak dari HamengkuBuwana III, ibunya bernama Raden Ayu Mangkarawati yang merupakan isteri tidak resmi atau dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Garwa Ampeyan.

6 Asal Usul Perang Jawa, (Yogyakarta : Lkis Pelangi Aksara, 2004), hal v-x

7 Keraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 , ( Yogyakarta: Bentang,2002) hal 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar