Selasa, 19 Februari 2013

Kereta Uap Itu Kini Tinggal Cerita…

Ketika kita membayangkan alat transportasi massal yang paling efektif pada era yang kebanyakan orang menyebutnya modern ini, pasti dalam pikiran kita akan terlintas imajinasi mengenai Kereta Api. Yah, alat transportasi yang menari diatas rel ini merupakan sebuah wahana yang bisa dikatakan sangat laris manis saat musim mudik lebaran tiba. Hal tersebut memang tak dapat dipungkiri. Lalu apakah anda membayangkan bahwa kereta uap yang merangkak lambat menyusuri pinggiran sawah antara Bantul-Yogyakarta pernah hadir sebagai primadona masyarakat yang bermobilitas tinggi ? Memang tapak tilas mengenai adanya tarian kereta uap di sekitar Bantul menuju Yogyakarta ini sudah tidak Nampak lagi, namun tidak ada salahnya kita beromantisme sejenak dengan alat transportasi peninggalan Belanda itu.
Widi Utomo (75) masih ingat masa dimana Kereta Uap yang melaju pelan dengan meninggalkan muntahan asap disepanjang rel rute Palbapang (Bantul) menuju Ngabean (Kota Yogyakarta) menjadi transportasi andalan wargaYogyakarta. Pada tahun 1950-an kereta Uap itu meringankan mobilitas warga, karena lebih efisien dalam segi biaya ketimbang menaiki andong atau becak. Jangankan mobil atau sepedamotor, onthel masih hadir sebagai barang yang mewah. Untuk mengatsi semua masalah akan kemampuan ekonomi tersebut maka kereta uap menjadi solusi alternatif masyarakat sekitar Yogyakarta.
Era tahun 1950-an antara jalur Palbapang menuju Ngabean memilki dua stasiun besar yang di damping oleh beberapa stasiun kecil. Daerah yang menjadi titik berhentinya kereta uap yang berbahan bakar kayu itu antara lain di desa Cepit yang berada di jalan bantul km. 8, kemudian di Desa Glondong -sering dikenal sebagai stasiun winongo karena factor geografisnya yang dekat dengan sungai yang bernama Winongo. Stasiun-stasiun ini merupakan tempat untuk menunggu datanya si Kereta hitam itu.
Namun kini tapak tilas kegagahan stasiun tersebut tinggal sebuah cerita dan sepuing artefak. Apalagi rel-rel yang mengendong kereta uap itu telah terkubur halusnya aspal hitam dan deretan warung-warung yang seakan pasar berbaris lurus diatas gagahnya potongan rel. Sebagian dari jalan kereta api tersebut telah menjadi lahan pertanian warga sekitar. Pembongkaran sebenarnya telah terjadi ketika Jepang menduduki Indonesia. Jalur Ngabean – Pundong (Bantul bagian timur), kemudian Palbapang- Sewugalur (KulonProgo) menjadi korban ketika periode seblum 1945.
Sangat ironis bukan, pada saat alat transportasi massal yang efektif ini akhirnya kalah bersaing dengan alat transportasi umum seperti Bus kota. Dan akhirnya sangat besi merangkak itu tinggal sebuah cerita nan indah. Akankah romantisme masa lalu itu hadir kembali dan mampu merangkak menyusuri Bantul? . Mungkin hal itu akan terjadi ketika tingkat akumulasi kendaraan telah mencapai titik klimaksnya, pemerintah perlu menghadirkan kembali sang kereta uap.

1 komentar:

  1. Mungkin hal itu akan terjadi ketika tingkat akumulasi kendaraan telah mencapai titik klimaksnya, pemerintah perlu menghadirkan kembali sang kereta uap.
    -----
    Setuju banget bro ... di amerika para ahli mulai kembali melirik kereta uap dengan bahan bakar ramah lingkungan. Matahari, panas bumi, ataupu mikro nuklir ... Sementara kita ??? cukup menjadi pembeli yang baik.

    BalasHapus