Ketika
kita membayangkan alat transportasi massal yang paling efektif pada
era yang kebanyakan orang menyebutnya modern ini, pasti dalam pikiran
kita akan terlintas imajinasi mengenai Kereta Api. Yah, alat
transportasi yang menari diatas rel ini merupakan sebuah wahana yang
bisa dikatakan sangat laris manis saat musim mudik lebaran tiba. Hal
tersebut memang tak dapat dipungkiri. Lalu apakah anda membayangkan
bahwa kereta uap yang merangkak lambat menyusuri pinggiran sawah
antara Bantul-Yogyakarta pernah hadir sebagai primadona masyarakat
yang bermobilitas tinggi ? Memang tapak tilas mengenai adanya tarian
kereta uap di sekitar Bantul menuju Yogyakarta ini sudah tidak Nampak
lagi, namun tidak ada salahnya kita beromantisme sejenak dengan alat
transportasi peninggalan Belanda itu.
Widi
Utomo (75) masih ingat masa dimana Kereta Uap yang melaju pelan
dengan meninggalkan muntahan asap disepanjang rel rute Palbapang
(Bantul) menuju Ngabean (Kota Yogyakarta) menjadi transportasi
andalan wargaYogyakarta. Pada tahun 1950-an kereta Uap itu
meringankan mobilitas warga, karena lebih efisien dalam segi biaya
ketimbang menaiki andong
atau becak. Jangankan mobil atau sepedamotor, onthel
masih hadir sebagai barang yang mewah. Untuk mengatsi semua masalah
akan kemampuan ekonomi tersebut maka kereta uap menjadi solusi
alternatif masyarakat sekitar Yogyakarta.
Era tahun 1950-an antara jalur Palbapang menuju Ngabean memilki dua
stasiun besar yang di damping oleh beberapa stasiun kecil. Daerah
yang menjadi titik berhentinya kereta uap yang berbahan bakar kayu
itu antara lain di desa Cepit yang berada di jalan bantul km. 8,
kemudian di Desa Glondong -sering dikenal sebagai stasiun winongo
karena factor geografisnya yang dekat dengan sungai yang bernama
Winongo. Stasiun-stasiun ini merupakan tempat untuk menunggu datanya
si Kereta hitam itu.
Namun kini tapak
tilas kegagahan stasiun tersebut tinggal sebuah cerita dan sepuing
artefak. Apalagi rel-rel yang mengendong kereta uap itu telah
terkubur halusnya aspal hitam dan deretan warung-warung yang seakan
pasar berbaris lurus diatas gagahnya potongan rel. Sebagian dari
jalan kereta api tersebut telah menjadi lahan pertanian warga
sekitar. Pembongkaran sebenarnya telah terjadi ketika Jepang
menduduki Indonesia. Jalur Ngabean – Pundong (Bantul bagian timur),
kemudian Palbapang- Sewugalur (KulonProgo) menjadi korban ketika
periode seblum 1945.
Sangat ironis
bukan, pada saat alat transportasi massal yang efektif ini akhirnya
kalah bersaing dengan alat transportasi umum seperti Bus kota. Dan
akhirnya sangat besi merangkak itu tinggal sebuah cerita nan indah.
Akankah romantisme masa lalu itu hadir kembali dan mampu merangkak
menyusuri Bantul? . Mungkin hal itu akan terjadi ketika tingkat
akumulasi kendaraan telah mencapai titik klimaksnya, pemerintah perlu
menghadirkan kembali sang kereta uap.
Mungkin hal itu akan terjadi ketika tingkat akumulasi kendaraan telah mencapai titik klimaksnya, pemerintah perlu menghadirkan kembali sang kereta uap.
BalasHapus-----
Setuju banget bro ... di amerika para ahli mulai kembali melirik kereta uap dengan bahan bakar ramah lingkungan. Matahari, panas bumi, ataupu mikro nuklir ... Sementara kita ??? cukup menjadi pembeli yang baik.