Selasa, 19 Februari 2013

Bola Panas PSSI....

Ketika euphoria kompetisi sepakbola antara Negara-negara di Asia Tenggara berakhir, masyarakat bola Indonesia masih dibius akan kegagahan pola tingkah Tim Nasional kita yang mampu bertengger diposisi kedua. Yah, memang garuda belum memeluk piala yang menjadi lambang supremasi sepakbola di Asia tenggara yang dahulu bernama Tiger Cup , namun sang burung mampu memeluk seluruh hati masyarakat pecinta bola Indonesia. Gaya permainan yang spartan nan indah mampu diperagakan para garnisun merah putih hingga peluit panjang dibunyikan oleh pengadil lapangan hijau. Namun romantisme bulan madu yang berlangsung sangat singkat itu terhapus begitu saja oleh polemik dan skandal dalam pemilihan ketua umum PSSI.
Nah, tidak ada salahnya kita mencoba untuk ikut menjamah polemik yang kian memanas ini. Nurdin Khalid sebagai ketua umum PSSI yang terpilih seakan secara aklamasi pada tahun 2007 terlihat untuk tidak rela melepaskan singgasananya. Dalam pencalonan Ketua Umum untuk periode kedepan, dia (Nurdin Khalid) kembali menggunakan senjata andalan nan pamungkas yaitu Statuta PSSI yang sedemikian rupa telah dipelintir dari Final Draft Statuta FIFA yang asli. Dalam hal ini terlihat betapa lihainya Nurdin dan kroni dalam mengamankan dinasti PSSI mereka. Apalagi dengan sesuka hatinya PSSI mencoret daftar calon seperti Arifin Panigoro dan G. Toisutta. Memang sosok Arifin Panigoro bermasalah dengan kompetisi yang dinaunginya dalam LPI (Liga Primer Indonesia). Kompetisi yang menjanjikan sebuah iklim sepakbola yang kompetitif dan professional tanpa penggunaan dana dari pemerintah ini telah dikultuskan sebagai kompetisi illegal.Alangkah arifnya jika PSSI mampu berkolaborasi dengan LPI dalam membentuk iklim persebakbolaan yang sehat. Sangat Ironis bukan, sebuah liga yang memberikan suntikan dana besar harus dimusuhi oleh PSSI. Bukankah inti dari sebuah kompetisi sepakbola adalah untuk membangun sebuah tim nasional yang mampu berbicara dalam level dunia internasional?
Sedangkan G. Toisutta dicoret dari daftar pencalonan ketua umum PSSI karena alasan yang menurut pendapatan pribadi saya (penulis) kurang memiliki argument yang kuat. Sehingga hasil dari akumulasi proses yang secara kasat mata terasa kabur itu mampu meloloskan Nirwan Bakrie dan Nurdin Khalid untuk melenggang mesra berdua dalam bursa calon ketua umum PSSI. Hal yang menghebohkan kemudian terjadi ketika Nirwan Bakrie mengundurkan diri dari bursa Raja PSSI itu. Nah disini mulai terlihat sebuah konspirasi kelas kakap untuk memberikan jalan mulus kepada Nurdin Khalid untuk kembali bertengger dalam singgasana PSSI. Secara otomatis keputusan itu jika dilaksanakan memberikan Nurdin Khalid kesempatan secara aklamasi untuk kembali berkuasa karena ketidakadaan calon yang kompeten.
Kini, bola panas PSSI masih terus bergulir di lapangan. Sebuah harapan muncul ketika komite banding (kalau tidak salah) yang dipunggawai oleh Tjipta Lesmana menganulir keputusan yang meloloskan Nurdin Khalid. Walaupun keputusan yang dicetuskan oleh komite banding ini karena adanya intervensi dari pemerintah dan masyarakat. Yah,harapan cerah kembali terbuka untuk kemajuan sepakbola Indonesia. Keputusan itu memaksa PSSI untuk mengadu ke FIFA sebagai organisasi yang mewadahi sebuah kompetisi sepakbola resmi di dunia.
Dalam hal ini kesimpangsiuran informasi kembali terjadi ketika pemerintah terlihat berjalan tidak selaras dengan PSSI. PSSI mengirimkan delagasinya ke Zurich Swiss (kandang FIFA) tanpa melewati kedubes Indonesia yang berada di Swiss. Secara prosedural seharusnya selama PSSI di belakangnya masih tertera huruf I yang berarti Indonesia harus melewati kantor kedutaan dalam acara-acara yang menyangkut kepentingan negara. Alangkah kurang bijaksana jika PSSI berjalan seperti sebuah perusahaan swasta dalam lawatannya ke Swiss. Betapa kisruhnya polemik pemilihan Ketua Umum PSSI ini.
Apakah kita perlu melakukan Revolusi untuk membenahi PSSI, bak revolusi yang terjadi di Mesir? Apakah pemerintah harus terus melakukan intervensi kedalam tubuh PSSI? Jika memang itu harus terjadi, kenapa tidak. Walaupun efek dari intervensi tersebut mengakibatkan munculnya hukuman untuk sepakbola Indonesia. Tapi toh, Negara seperti Australia yang pernah diganjar sanksi oleh FIFA sekarang menjadi langganan piala dunia. Jika memang sanksi tersebut harus berlaku bukan merupakan sebuah kiamat bagi sepakbola Indonesia. Seluruh elemen terkait bisa bersama-sama membenahi sepakbola Indonesia ketika sanksi itu diberlakukan. Semoga kita bisa tersenyum ketika polemik ini berakhir dengan indah. Saat itu pula kita memekikan sebuah petikan lagu dengan lantang yang berbunyi “Garuda Didadaku, Garuda Kebanggaanku”. Sekian dan terimakasih


Tidak ada komentar:

Posting Komentar