Ketika
euphoria kompetisi sepakbola antara Negara-negara di Asia Tenggara
berakhir, masyarakat bola Indonesia masih dibius akan kegagahan pola
tingkah Tim Nasional kita yang mampu bertengger diposisi kedua. Yah,
memang garuda belum memeluk piala yang menjadi lambang supremasi
sepakbola di Asia tenggara yang dahulu bernama Tiger
Cup
, namun sang burung mampu memeluk seluruh hati masyarakat pecinta
bola Indonesia. Gaya permainan yang spartan nan indah mampu
diperagakan para garnisun merah putih hingga peluit panjang
dibunyikan oleh pengadil lapangan hijau. Namun romantisme bulan madu
yang berlangsung sangat singkat itu terhapus begitu saja oleh
polemik dan skandal dalam pemilihan ketua umum PSSI.
Nah,
tidak ada salahnya kita mencoba untuk ikut menjamah polemik yang kian
memanas ini. Nurdin Khalid sebagai ketua umum PSSI yang terpilih
seakan secara aklamasi pada tahun 2007 terlihat untuk tidak rela
melepaskan singgasananya. Dalam pencalonan Ketua Umum untuk periode
kedepan, dia (Nurdin Khalid) kembali menggunakan senjata andalan nan
pamungkas yaitu Statuta PSSI yang sedemikian rupa telah dipelintir
dari Final
Draft
Statuta FIFA yang asli. Dalam hal ini terlihat betapa lihainya Nurdin
dan kroni dalam mengamankan dinasti PSSI mereka. Apalagi dengan
sesuka hatinya PSSI mencoret daftar calon seperti Arifin Panigoro dan
G. Toisutta. Memang sosok Arifin Panigoro bermasalah dengan
kompetisi yang dinaunginya dalam LPI (Liga Primer Indonesia).
Kompetisi yang menjanjikan sebuah iklim sepakbola yang kompetitif dan
professional tanpa penggunaan dana dari pemerintah ini telah
dikultuskan sebagai kompetisi illegal.Alangkah arifnya jika PSSI
mampu berkolaborasi dengan LPI dalam membentuk iklim persebakbolaan
yang sehat. Sangat Ironis bukan, sebuah liga yang memberikan suntikan
dana besar harus dimusuhi oleh PSSI. Bukankah inti dari sebuah
kompetisi sepakbola adalah untuk membangun sebuah tim nasional yang
mampu berbicara dalam level dunia internasional?
Sedangkan G.
Toisutta dicoret dari daftar pencalonan ketua umum PSSI karena alasan
yang menurut pendapatan pribadi saya (penulis) kurang memiliki
argument yang kuat. Sehingga hasil dari akumulasi proses yang secara
kasat mata terasa kabur itu mampu meloloskan Nirwan Bakrie dan Nurdin
Khalid untuk melenggang mesra berdua dalam bursa calon ketua umum
PSSI. Hal yang menghebohkan kemudian terjadi ketika Nirwan Bakrie
mengundurkan diri dari bursa Raja PSSI itu. Nah disini mulai terlihat
sebuah konspirasi kelas kakap untuk memberikan jalan mulus kepada
Nurdin Khalid untuk kembali bertengger dalam singgasana PSSI. Secara
otomatis keputusan itu jika dilaksanakan memberikan Nurdin Khalid
kesempatan secara aklamasi untuk kembali berkuasa karena ketidakadaan
calon yang kompeten.
Kini, bola panas
PSSI masih terus bergulir di lapangan. Sebuah harapan muncul ketika
komite banding (kalau tidak salah) yang dipunggawai oleh Tjipta
Lesmana menganulir keputusan yang meloloskan Nurdin Khalid. Walaupun
keputusan yang dicetuskan oleh komite banding ini karena adanya
intervensi dari pemerintah dan masyarakat. Yah,harapan cerah kembali
terbuka untuk kemajuan sepakbola Indonesia. Keputusan itu memaksa
PSSI untuk mengadu ke FIFA sebagai organisasi yang mewadahi sebuah
kompetisi sepakbola resmi di dunia.
Dalam
hal ini kesimpangsiuran informasi kembali terjadi ketika pemerintah
terlihat berjalan tidak selaras dengan PSSI. PSSI mengirimkan
delagasinya ke Zurich Swiss (kandang FIFA) tanpa melewati kedubes
Indonesia yang berada di Swiss. Secara prosedural seharusnya selama
PSSI di belakangnya masih tertera huruf I yang berarti Indonesia
harus melewati kantor kedutaan dalam acara-acara yang menyangkut
kepentingan negara. Alangkah kurang bijaksana jika PSSI berjalan
seperti sebuah perusahaan swasta dalam lawatannya ke Swiss. Betapa
kisruhnya polemik pemilihan Ketua Umum PSSI ini.
Apakah
kita perlu melakukan Revolusi untuk membenahi PSSI, bak revolusi yang
terjadi di Mesir? Apakah pemerintah harus terus melakukan intervensi
kedalam tubuh PSSI? Jika memang itu harus terjadi, kenapa tidak.
Walaupun efek dari intervensi tersebut mengakibatkan munculnya
hukuman untuk sepakbola Indonesia. Tapi toh, Negara seperti Australia
yang pernah diganjar sanksi oleh FIFA sekarang menjadi langganan
piala dunia. Jika memang sanksi tersebut harus berlaku bukan
merupakan sebuah kiamat bagi sepakbola Indonesia. Seluruh elemen
terkait bisa bersama-sama membenahi sepakbola Indonesia ketika sanksi
itu diberlakukan. Semoga kita bisa tersenyum ketika polemik ini
berakhir dengan indah. Saat itu pula kita memekikan sebuah petikan
lagu dengan lantang yang berbunyi “Garuda Didadaku, Garuda
Kebanggaanku”. Sekian dan terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar